By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Di zaman modern, teknologi bisa mempermudah manusia menciptakan fasilitas hidup sesuai yang diinginkan. Manusia bisa mencukupi kebutuhan materialistik dengan sedemikian rupa atas bantuan perangkat yang dibuatnya. Namun, semakin teknologi dan pengetahuan semakin canggih, maka tantangan dan cobaan akan semakin banyak. Manusia bila terlalu mengandalkan kebutuhan materialistik, tanpa diimbangi dengan immateri, pada saatnya kehidupan yang dijalani akan mudah gelisah (tidak bisa tenang).
Ketenangan hidup tidak cukup bila diatasi dengan dunia materialistik, yang hanya mengandalkan hal-hal yang bersifat dhahiriah, dan rasionalis. Bila kita fikirkan, dalam diri manusia belum cukup bila hanya diasupi kebutuhan dunia jasmani. Pada saatnya, dunia rohani akan sangat dibutuhkan.
Setiap unsur yang ada dalam diri manusia pada saatnya membutuhkan nutrisi (asupan gizi). Baik kebutuhan nutrisi jasmani maupun rohani. Adakalanya, manusia hanya mementingkan jasmaniahnya ketimbang rohaniahnya. Dengan makan sehat yang teratur, aktivitas olahraga yang rutin, dan istirahat yang cukup, bisa menjadikan tubuh akan segar bugar, dan fikiran menjadi tenang dan fresh. Tapi, hal demikian belum cukup, atau dalam bahasa kita belum secara paten kita mendapat ketenangan hidup.
Dalam diri manusia, memberikan nutrisi jasmaniah lebih gampang daripada kerohanian. Nutrisi jasmaniah bisa kita realisasikan dengan hal-hal yang bersifat dhahir bila suatu saat terjadi kelaparan. Akan tetapi, apabila yang kelaparan adalah kerohanian, bagaimana cara mengatasinya ?
Lapar secara jasmani atau fisik memang mudah dipahami banyak orang. Bila hal tersebut terjadi, bisa jadi menyebabkan kematian. Lalu, apa efek lapar secara rohani...?
Lapar rohani dapat disamakan dengan lapar jiwa atau hati nurani. Apabila rohani kita lapar dan tidak diberi nutrisi, bisa menyebabkan kematian hati, walaupun secara fisik masih hidup. Lapar rohaniah jauh lebih berbahaya dari pada jasmaniah. Sebab, lapar rohani akan menyebabkan fikiran manusia kosong (bahasa jawa: suwung). Bila fikiran manusia suwung, hati tidak tenang, jiwa gundah, sering sakit hati, emosi, dan hidupnya senantiasa tidak tenang, karena akal dijadikan sebagai sandaran utama dalam menghadapi suatu masalah. Dengan ambisi yang kuat kadangkala bisa menjungkirbalikkan manusia dari keadaan positif menjadi negatif.
Begitulah apabila terlalu mendewakan akal (materi) dengan meniadakan jiwa (immateri). Jiwa yang kekurangan nutrisi pada dasarnya terpenuhi aura negatif. Hal inilah yang menyebabkan tingkah laku manusia menjadi tidak baik. Sedangkan apa definisi dari Jiwa itu...?
Begitulah apabila terlalu mendewakan akal (materi) dengan meniadakan jiwa (immateri). Jiwa yang kekurangan nutrisi pada dasarnya terpenuhi aura negatif. Hal inilah yang menyebabkan tingkah laku manusia menjadi tidak baik. Sedangkan apa definisi dari Jiwa itu...?
Dalam diri manusia secara jasmani (fisik) terdiri atas telinga, mata, hidung, mulut, dan lidah. Sedangkan rohaninya berupa pendengaran, penglihatan, penciuman, bicara, dan rasa. Dari salah satu unsur diri manusia yang dominan adalah mata dan telinga, yang masing-masing memiliki fungsi untuk melihat dan mendengar.
Mata dan telinga bisa memfilter perkara-perkara yang positif maupun negatif di lingkungan sekitar kita. Dari hasil tangkapan dan serapan kedua unsur tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam hati, jantung (besar dan kecil), dan dimasukkan ke dalam dimensi kosong. Dimensi kosong inilah yang dinamakan qolbu (jiwa). Qolbu yang sudah terisi dengan perkara positif atau negatif di lingkungan sekitar dinamakan jiwa.
Perkara yang ditangkap dan diserap ke dalam tubuh manusia pada dasarnya ada yang positif dan negatif. Perkara positif atau negatif bila masuk ke dalam dimensi kosong (qolbu) pada hakikatnya tidak bisa berkumpul jadi satu, keduanya akan berpisah. Semakin banyak perkara positif yang diserap, maka qolbu akan terisi perkara yang positif. Sebaliknya, semakin banyak perkara negatif yang diserap, maka qalbu terisi perkara yang negatif.
Jiwa inilah yang pada akhirnya menentukan perilaku manusia. Semakin banyak perkara buruk yang masuk ke dalam jiwa manusia, maka perilaku yang muncul pada diri manusia senantiasa buruk. Sebaliknya, bila perkara positif yang masuk ke jiwa manusia, maka perilaku yang muncul pada diri manusia senantiasa baik.
Jadi, setiap panca indra pada manusia bisa menangkap dan menyerap perkara-perkara yang positif ataupun negatif. Hal demikian apabila tidak dikendalikan, akan sangat berpengaruh pada tingkah laku kesehariannya.
Nutrisi kerohanian yang menjadikan diri manusia senantiasa tenang, yakni dengan membiasakan diri menyerap perkara-perkara yang baik, diantaranya membiasakan mengikuti pengajian tasawuf, istiqomah membaca Al-Qur'an, shalat tahajud, atau bisa juga dengan dekat para ulama'.
Sebenarnya, melaksanakan shalat lima waktu sudah dapat dikatakan mengisi nutrisi kerohanian. Masalahnya, apakah manusia sendiri sudah memahami hakikat shalat itu sendiri....?
Dalam firman-Nya sudah jelas,
Sebenarnya, melaksanakan shalat lima waktu sudah dapat dikatakan mengisi nutrisi kerohanian. Masalahnya, apakah manusia sendiri sudah memahami hakikat shalat itu sendiri....?
Dalam firman-Nya sudah jelas,
إن الصلاة تنهى عن الفحشاء و المنكر
"Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar"
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami, manusia jika benar-benar telah menerapkan ibadah sesuai yang diperintahkan-Nya, tentu umat muslim tidak seyogyanya berani untuk melakukan perkara yang negatif, dan perjalanan hidup senantiasa harmonis. Akan tetapi, masih ada manusia yang taat beribadah, tapi belum memasuki dimensi hakikat makna dari shalat itu sendiri. Manusia terkadang lebih mementingan sektor jasmaniah (rasionalis) ketimbang kerohanian. Sehingga, kejenuhan, kegelisahan, dan merasa belum puas dalam menjalani kehidupannya senantiasa menghantui dirinya.
Pernyataan di atas bisa dijadikan sarana muhasabah, apakah ini memang kesalahan kita bila kita belum menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani, atau kita terlalu memahami nas al-Qur'an hanya sekedar cakupan akal, tanpa memasuki dimensi qolbu ?
Jadi, kebutuhan materi belum tentu menjadikan diri kita harmonis, tanpa diimbangi dengan immateri. Asupan rohani sangat penting untuk menghikangkan diri kita yang serba was-was, gelisah, dan kurang yakin.
Selalu belajar membiasakan perilaku positif, mawas diri, dan menyadari kesalahan atas kekurangan diri sendiri merupakan solusi yang terbaik untuk merubah diri kita menjadi lebih baik. Apabila manusia memiliki jiwa yang positif, Allah senantiasa dekat dengan kita. Dan jiwa pada diri manusia bisa mengalahkan materi. Ketenangan dan keyakinan hidup semakin menancap pada diri kita. Jiwa yang positif akan memiliki kekuatan yang positif. Wallahu A'lam bi As-Showab
That's really good😀
BalasHapusVery good
BalasHapus