By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Menanggapi
slogan tentang kewajiban pakai masker bagi civitas masyarakat tentunya sangat
menarik untuk didiskusikan. Kita sebagai warga masyarakat yang
baik tentunya sangat memahami kewajiban mematuhi protokol kesehatan. Seperti
yang kita ketahui, masa pandemi covid-19 hingga kini masih membabi buta.
Walaupun era new normal sudah dibumikan, kesadaran diri untuk berdo’a dan
ikhtiar alangkah seyogyanya selalu kita amalkan, untuk menjauhi kerusakan demi meraih
ketenangan dan keharmoniasan.
Virus
ini bisa dibilang tidak pandang bulu, baik negara muslim maupun non-muslim bisa
terkena dampaknya. Anehnya, pelaku covid-19 ada yang kondisinya sehat wal
afiyat. Namun dampaknya, bila pelaku tersebut menularkan kepada orang yang
memiliki riwayat penyakit, bisa berdampak vatal. Virus tanpa gejala inilah yang
membahayakan kita. Hanya saja, banyak sekali masyarakat yang terlalu meremehkan
virus ini. Masyarakat menganggap, era new normal merupakan masa bebas corona.
Selain itu, kontinuitas penggunaan masker sampai sekarang mulai punah. Tidak
jarang pula masyarakat awam mem-bully habis-habisan para pengguna masker.
Terutama dalam kegiatan rutinitas masyarakat.
Menindaklanjuti
kewajiban bermasker di era pandemi, tentunya pemerintah sangat mempertimbangkan
betul tentang wajibnya pemakaian masker. Dilain sisi, agamawan juga sangat
mendukung tentang kebijakan pemerintah dalam mewajibkan protokol kesehatan,
diantaranya memakai masker. Para agamawan tentunya juga tidak sembrono menghukumi wajibnya pemakaian
masker. Mereka tentunya mencurahkan segala kemampuannya untuk mengeluarkan atau
menggali hukum berdasarkan pedoman al-Qur’an dan hadis.
Sebagai
masyarakat yang baik dan taat, mematuhi aturan pemerintah merupakan bentuk
kepatuhan kita kepada Nabi. Dalam hadisnya, Rasulullah pernah bersabda,”Barangsiapa
yang taat kepada amir (pemimpin) maka ia taat kepadaku, dan barangsiapa yang
membangkang (tidak menaati) kepada amir, maka ia membangkang kepada-ku (Nabi
SAW),”. Hal ini juga dikuatkan dalam dalil al-Qur’an pada surah an-Nisa’:
59.
Baik dalil aqli maupun naqli sama-sama menegaskan, apabila kita sebagai umat Nabi SAW alangkah seyogyanya
berusaha mengikuti
segala perintahnya. Perintah Nabi merupakan bentuk
perintah yang dilakukan oleh-Nya. Memakai masker di era pandemi merupakan
bentuk usaha pemerintah untuk meminimalisir klaster persebaran
virus. Ulama’ juga menegaskan, mematuhi aturan yang ditetapkan pemerintah bisa
dengan niatan untuk meningkatkan kualitas amal ibadah kita kepada-Nya. Di lain
sisi, juga dimaknai juga untuk mencegah bahaya
kerusakan yang
menyelimuti umat manusia. Dalam kaidah fiqh juga dijelaskan, apabila
menghindari kerusakan/kerugian harus diutamakan atas upaya membawa kebaikan,
atau dalam terminologi bahasa arab kaidah fiqh dinamakan, الضرريزال (bahaya harus
dihilangkan). Kaidah ini memang digunakan oleh sebagian ulama’ atas kewajiban-nya untuk menggunakan masker. Dalam ijtihadnya, ulama’ menginginkan civitas masyarakat untuk
menghindari bahaya yang selalu mengintai kapanpun dan dimanapun. Membuang
jauh-jauh semua bahaya (coronavirus), baik untuk diri sendiri maupun oranglain
harus diutamakan, karena menjaga jiwa (keselamatan manusia) lebih didahulukan
daripada menjaga agama.
Kaidah fiqh yang
diviralkan sebagian ulama’
memang berlatar belakang tehadap bahayanya kasus covid-19. Apabila tidak dicegah, tentu akan
mengakibatkan rusaknya kehidupan manusia. Mematuhi protokol kesehatan salah
satu bentuk mencegah kerusakan, agar umat manusia senantiasa aman dan nyaman. Landasan ulama’ mencetuskan kaidah di atas juga dikuatkan
dengan hadis Nabi,لاضرر
ولاضرر (jangan membahayakan
diri-sendiri dan orang lain). Hadis ini memang pendek, tapi memiliki makna
kandungan yang sangat mendalam. Kedalaman makna tersebut diantaranya, kata ضرر (dharar) memiliki makna sebuah perbuatan yang bermanfaat
hanya untuk pribadi tapi berbahaya untuk orang lain. Contoh kasus, ada orang
yang terkena virus dalam keadaan sehat tanpa gejala, tapi apabila yang
bersentuhan dengan orang yang berpenyakit tentunya bisa berdampak berbeda.
Justru, yang berpennyakit itulah akan diserang secara habis-habisan. Kataضرر ini tentunya hanya bermanfaat untuk diri sendiri, akan
tetapi menyengsarakan orang lain. Sedangkan kata ضرر (dhirar) memiliki makna apabila
perbuatan yang membahayakan orang lain tanpa memberi manfaat pada si pelaku.
Dalam kasus ini, juga bisa dianalogikan tentang era covid-19, sejatinya orang yang terkena virus tanpa gejala
memberikan dampak keburukan bagi orang lain. Tapi, dirinya sendiri (pelaku)
walaupun dalam keadan sehat sejatinya juga berdampak buruk bagi dirinya
sendiri. Karena tekanan bathin pasti akan menyelimuti dirinya, baik
dijauhkan orang lain, maupun bisa jadi dijadikan bahan gosip.
Terlepas dari penjabaran makna kata dharar dan dhirar, kedua-duanya perbuatan
yang membahayakan diri sendiri dan orang lain harus ditinggalkan, hal ini
sama-sama dilarang.
“Dalam kitab Fiqh mazahibul al-Arba’ah dijelaskan, المحافظة على الصحة واجبة (menjaga kesehatan hukumnya wajib) (Abdurrahman ad-Dimasyqi:115).”
Kewajiban masker memang harus dipublikasikan,
demi kesehatan diri sendiri dan orang lain. keselamatan bersama harus kita utamakan, saling menjaga merupakan bentuk dari tujuan hidup
manusia, selain berhubungan dengan Allah juga berhubungan dengan manusia. Demikian
bentuk ijtihad para ulama’
dan umara’,
sepatutnya era pandemi ini dijadikan sebagai sarana muhasabah
(intropeksi) diri
kita untuk senantiasa berusaha tidak
acuh tak acuh dengan wabah yang menimpa kita. Keegoisan kita akan berdampak
kepada sekitar kita, sehingga semua aktivitas sehari-hari yang seharusnya
dimudahkan menjadi dipersulit. Faktor ego yang muncul pada diri kita mengakibatkan
dampak keburukan bagi semua umat manusia.
Allah swt tidak akan merubah umat-NYa apabila mereka tidak mau merubah kondisi
pendemi ini menjadi kehidupan yang sehat, aman, dan harmonis. Semoga, dengan ta’dhiman wa kiraman kepada
ulama dan umara’ dalam menjalankan protokol kesehatan, kita senantiasa
dimudahkan Allah dalam
segala urusannya. Wallahu
a’lam bi Shawab
Komentar
Posting Komentar