Warisan
penyebar agama Islam yang masih eksis di Nusantara adalah Pesantren. Sebagai
warisan budaya Islam, pesantren tidak hanya sebagai lembaga yang eksis dalam
transmisi keilmuan, akan tetapi eksis dengan kebudayaan ala Nusantara sendiri.
Di lembaga pesantren, pendidikan yang diajarkan kiai kepada santri tetap
mempertahankan sistem pembalajaran tradisional. Walaupun ada beberapa pesantren
yang sudah mengikuti perkembangan zaman (ala modern), akan tetapi ciri khas ala
Pesantren tetap dipertahankan.
Kemampuan
Pesantren yang mampu memadukan antara Tradisi lokal dan Islam menjadikan
praktik Islam yang ada di Nusantara berbeda dengan Islam yang ada di Timur
Tengah. Perbedaan ini tidak hanya menyangkut masalah sistem pembelajaran,
melainkan praktik kehidupan sehari-hari yang tetap energik dalam
menanamkan nilai-nilai budaya, sehingga kehidupan Pesantren kaya akan nilai
religius yang humanis.
Ciri
khas sistem pendidikan yang masyhur dikalangan Pesantren diantaranya
pembelajaran kitab kuning berbasis Aksara Pegon. Kajian kitab kuning merupakan
literatur paling utama yang menjadikan nilai-nilai luhur budaya tetap eksis
terjaga, seperti sikap toleran, tidak ekstrim, dan tetap mempertahankan
keseimbangan hidup manusia, baik dalam berhubungan dengan Allah, sesama
manusia, dan lingkungan budaya sekitar.
Dalam
dunia Pesantren, kajian kitab kuning merupakan makanan sehari-hari santri. Kesehariannya, Kiai mengajarkan kitab-kitab kuning
dengan metode bandongan dan sorogan. Kiai menjelaskan makna kata
perkata pada teks Arab dengan Aksara Pegon, sesuai dengan gramatika bahasa Arab
(ilmu-ilmu linguistik). Tidak hanya itu, ia juga menjelaskan makna
kontekstual pada tema yang di bahas sesuai dengan kondisi pada saat itu. Tugas
santri yang notabene sebagai murid, memaknai kata perkata kalimat dengan
makna Jawa gandul. Kemudian memahami maksud isi pembahasan yang dikaji
oleh Kiai.
Ada
yang menarik mengenai cara memahami konsep gramatika bahasa Arab di kalangan
pesantren, misalnya lafaz “alhamdu
lillaahi
Rabbil aalamin”, kiai
memaknai kata “alhamdu” dengan bahasa Jawa “utawi sekabehane puji”.
Sedangkan kata “lillaahi” dengan
makna “iku kagungane Allah”, sedangkan kata “Rabbil aalamin” dengan
makna “kang mengerani wong alam kabeh”.
Dari penjelasan tersebut, kata “utawi” jika ditelaah dari segi bahasa
menunjukkan subyek (mubtada’). Sedangkan, kata “iku” kedudukannya
sebagai predikat (khabar), dan kata “kang” kedudukannya menjadi
sifat (naat). Jika kata keseluruhan digabung ber-makna, “Segala puji
bagi Allah Sang Maha Penguasa Alam”. Kiai
dengan mahir menyederhanakan teks bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa. Dengan
model konsep pengajaran yang dilakukan kiai kepada santri sangatlah
menguntungkan, khususnya dalam memahami teks bahasa Arab.
Dengan penggunaan Aksara Pegon, memudahkan santri dalam
memahami kajian gramatika bahasa (nahwu sharaf), isi kata perkata, dan
kandungan yang ada di dalam teks Arab. Tidak hanya itu, nilai-nilai tradisi
yang sangat kental di Pesantren juga di kaitkan dalam teks bahasa Arab ke
Aksara Jawa Pegon, diantaranya dengan model bahasa yang santun sesuai dengan
ukuran derajat masing-masing tingkatan. Sebab, bahasa Aksara Jawa Pegon tidak
hanya sebagai alat penghubung, atau memahami suatu teks, akan tetapi juga
sebagai lambang identitas tradisi masyarakat itu sendiri.
Dalam Jurnal As-Saqafah, ada beberapa kalimat
dalam bahasa Jawa yang menunjukkan tingkat tutur dan derajat tertentu,
diantaranya bahasa Krama dan Ngoko. (Supriyanto: 2016)
Biasanya, bahasa Krama digunakan untuk menyebut derajat atau kedudukan seseorang yang lebih tinggi. Misal: “Kanjeng”, biasanya laqab ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan bahasa Ngoko sendiri digunakan kepada orang yang lebih rendah. Misal: “wong”, biasanya ditujukan kepada orang-orang kafir.
Sistem
Pengajaran ber-basis Aksara Jawa Pegon, menempatkan Islam yang diajarkan di
Pesantren menunjukkan kekhasan, jika Islam merupakan ajaran normatif yang
berasal dari Allah Swt yang diakomodasikan ke dalam kebudayaan tanpa kehilangan
identitas. Hal ini menunjukkan sistem pendidikan pesantren memiliki kajian
ke-Islaman yang luas tanpa meninggalkan kearifan budaya lokal.
Pesantren
sejak berabad-abad telah menjadi pusat pribumisasi Islam. Hal ini atas usaha
yang diajarkan para penyebar Islam di Nusantara. Pribumisasi Islam yang
dimaksud, Islam yang diajarkan pesantren tidak bertentangan dengan budaya.
Islam merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu, sedangkan budaya merupakan
hasil kreativitas manusia. Kolaboratif antara keduanya, menjadikan Islam tidak
kaku, dan menyatu dengan masyarakat.
Islam
yang diajarkan di Pesantren tidak pernah membangun relasi oposisional dengan
tradisi budaya. Justru, antara keduanya bekolaborasi dan saling menguatkan
antara satu sama lain. Ajaran Islam yang diterapkan di Pesantren, menjadikan
masyarakat memandang Islam bewatak lemah lembut dan toleran. Sehingga,
masyarakat memandang pesantren sebagai gudang ajaran nilai-nilai karifan lokal
yang mampu diterapkan oleh santri dalam berinteraksi antar sesama manusia
dengan damai dan harmonis.
Inilah
Warisan budaya, pesantren hingga sekarang merupakan lembaga yang mampu
mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam tanpa meninggalkan tradisi budaya.
Pesantren mampu mencetak kader-kader pendakwah yang tasamuh, tawasuth,
dan tawazun. Tidak hanya itu, Pesantren berperan penting sebagai benteng
moral yang menempatkannya sebagai pusat counter culture, sehingga
Pesantren menjadi pusat peradaban yang mampu membangun dan mengembangkan
pendidikan keagamaan, kebudayaan, dan sosial di masyarakat.
Seiring
dinamika dan perkembangan zaman, Pesantren tentunya terus melakukan upaya
pembenahan, evaluasi, dan pengembangan ke arah kekinian. Mengingat, seiring
perkembangan zaman sempat terjadi gerombolan-gerombolan radikalisme yang
mengatasnamakan lembaga Pesantren.
Dalam jurnal Sosial dan Kebudayaan Islam,
citra pesantren dari beberapa tahun lalu sempat tercoreng akibat aksi brutal,
radikal oleh sekelompok golongan teroris yang mengatasnamakan pesanten
tertentu. (Mukhibat: 2015)
Hal ini menunjukkan, citra Pesantren yang sebelumnya menjadi pusat peradaban Islam yang moderat menjadi pusat peradaban yang anarkis. Sebagai warisan kebudayaan yang masih eksis, Pesantren tentunya harus mempersiapkan strategi baru untuk mempetahankan corak keislamannya yang khas terhadap arus globalisasi budaya dan puritanisme yang sampai saat ini mulai melebarkan sayapnya ke seluruh pelosok Desa.
Selain
itu, seiring berkembangannya era globalisasi budaya modern, Pesantren
seharusnya memiliki kebijakan tertentu. Mengingat, budaya modern dari Barat
mulai eksis di Pesantren dari berbagai bidang, diantaranya bidang sains dan
teknologi, filsafat, ekonomi, politik, dan pendidikan.
Di
era Modern, ada beberapa upaya Pesantren untuk menghadapi realitas global.
Diantaranya, Pesantren harus siap untuk memfilterasi budaya modern dengan
ketat. Agar, kultur budaya tradisional di Pesantren tetap bisa dipertahankan.
Pesantren dengan tradisi khas yang dimilikinya harus berusaha untuk melakukan
reorientasi terhadap masalah pendidikan, keagamaan, dan kehidupan sosial yang
diembannya dengan mencari solusi baru kala budaya modern mulai melekat di
Pesantren.
Bisa
jadi, adaptasi budaya modern dijadikan sebagai pendukung secara positif untuk
memberdayakan kultur budaya khas Pesantren yang masih melekat. Kolaboratif
antara kebudayaan modern dan tradisional tidak menjadikan ciri khas Pesantren
punah, dan berpengaruh pada aspek pemurnian ajaran Islam, justru memperkuat
sistem pendidikan, keagamaan, dan sosial dengan merespons modernisasi. Selain
mengolaborasikan antara tafaqquh fi ad-din dan ilmu pengetahuan umum,
Pesantren juga memperkuat benteng agar gerakan-gerakan purifikasi ekstrem
tidak menciderai Islam dan kultur budaya di Pesantren.
Pesantren
yang masih eksis dengan pusat peradaban Islam, kita bisa mengambil pelajaran
bagaimana ber-Islam tanpa meninggalkan tradisi dan kearifan lokal. Darinya
pula, kita belajar ber-Islam dengan tradisi lokal untuk mewujudkan kehidupan
Islami yang ramah, toleran, dan harmonis. []
Komentar
Posting Komentar