By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang masih eksis hingga sekarang. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003, pesantren telah diakui secara formal sebagai lembaga yang berfungsi menggembleng dan mendidik santri nilai-nilai Agama. Untuk mewujudkan paham agama (tafaquh fi ad-din), pendidikan pesantren mengakses kurikulum pesantren melalui literatur kitab kuning. Dari kazanah intelektual kitab klasik tersebut mampu menyerap aturan-aturan agama dalam kehidupan masyarakat.
Kitab kuning menjadi unsur sekaligus ciri khas Pesantren. Metode yang diterapkannya kebanyakan menggunakan pendekatan tradisional, yakni dengan menggunakan aksara Arab pegon. Pendekatan ini bertujuan mempertahankan sanad transmisi keilmuan ulama’ terdahulu. Dalam tradisi Pesantren, mata rantai sanad sangat penting. Hal ini bertujuan untuk menghubungkan antara mursyid dan murid. Sanad yang muttasil memang dijadikan pijakan untuk mempertanggung jawabkan intelektual, nilai keberkahan, dan kemanfaatan. Dalam tradisi Pesantren, kitab kuning dan hubungan mursyid beserta murid memang tidak bisa dipisahkan. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya seorang mursyid dalam transmisi keilmuan. Makanya, dalam dunia Pesantren tidak mengajarkan secara otodidak, melalui mursyid, kitab kuning, dan santri selain menunjukkan otoritatif sanad keilmuan, juga dipercaya untuk membedakan antara Pesantren dan sekolah formal.
Ada dua pendekatan Kiai dalam mengajarkan kitab kuning kepada santrinya. Pertama, bandongan. Metode ini menggunakan pembacaan teks oleh kiai, kemudian menjelaskannya. Santri secara kolektif mendengarkan dan membuat catatan dalam bentuk syakal (harakat), kemudian memaknainya dengan menggunakan Arab pegon. Kedua, sorogan. Kiai menyuruh santri untuk membaca kitab yang telah diberi syakal dan makna, kemudian ia mengoreksi bacaannya, baik dari segi gramatika bahasa (ilmu alat), terjemahan kalimat, maupun cara menjelaskannya.
Dari perangkat metode yang digunakan, semuanya menggunakan aksara Arab pegon sebagai basis untuk memahami kitab kuning. Metode ini memberikan dampak positif bagi pengetahuan santri. Terutama dalam memahami kata perkata setiap kalimat dalam teks. Misalnya saja kala kiai memaknai surat al-fatihah pada ayat ke 5: iyya kana’budu wa iyya kanastain. Ia mengawalinya dengan kata perkata “iyyaka na’budu” dengan makna Jawa “ing panjenengan kita nyembah” (hanya kepada engkau kami menyembah), didahului dengan kata “ing” dengan maksud untuk menunjukkan bahwa perkataan tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih (objek) yang berupa dhamir munfasil, terletak sebelum fi’il. Sedangkan lafadz “iyyaka nasta’in” dengan makna Jawa “ing panjenengan kita nyuwun pitulung” (hanya kepada engkau kami meminta pertolongan), juga didahului dengan kata “ing” yang susunan I’rabnya sama dengan ayat sebelumnya, “iyyaka na’budu”.
Dengan metode yang dipaparkan Kiai, santri memaknai teks Arab ke Arab pegon didasarkan pada kata yang disesuaikan dengan teks aslinya (kitab bahasa Arab) ke dalam bahasa Jawa. Tidak hanya itu, makna yang diterjemahkan setiap kata juga disesuaikan dengan gramatika bahasa Arab, guna untuk mengetahui kaidah-kaidah bahasa yang terkandung dalam teks. Adapun, kosakata-kosakata yang sering digunakan santri dalam memaknai sebuah teks, antara lain: mubtada’ (utawi atau adapun), khabar (iku atau adalah), maf’ul bih (ing atau kepada), maf’ul fih (ing dalem atau pada/di), maf’ul muthlaq (kelawan atau dengan), maf’ul li ajlih (kerana atau karena), dll.
Adanya makna pegon sangatlah menguntungkan santri. Ia dengan mudah menguasai teks bahasa Arab setiap kata dalam teks bahasa Jawa. Menariknya, tiap kata yang dimaknai dalam bentuk pegon sesuai dengan teks aslinya. Selain itu, santri juga mengetahui uniknya kosakata dalam bingkai Arab pegon Jawa. Kosakata yang muncul dalam bahasa Jawa juga bisa digunakan untuk menambah perbendaharaan bahasa dalam komunikasi antar sesama santri. Tidak hanya itu, aksara Arab pegon juga dijadikan sebagai basis literasi santri, khususnya dalam bidang kesenian kaligrafi. Tanpa belajar makna pegon, santri akan kesulitan dalam merangkai lafadz seni kaligrafi.
Aksara Arab Pegon Jawa memang lahir di Pesantren. Dulu, aksara ini digunakan sebagai basis sarana penyebaran Islam. Seiring perkembangan zaman, kini dijadikan sabagai pembelajaran untuk menerjemahkan dan memahami kitab kuning. Bentuk penulisan aksara Arab Pegon berbeda dengan latin. Penulisan dimulai dari arah kanan ke kiri, sama dengan teknik menulis teks Arab. Hanya saja, penulisan pegon dirangkai secara miring dari atas ke bawah, atau dalam terminologi Jawa disebut Arab gandul. Aksara Pegon tidak harus berbahasa Jawa. Karena kebanyakan pesantren terletak di Jawa, maka masyarakat mengenal pegon lebih identik dengan bahasa Jawa.
“Jawa pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, di daerah Sumatera dan Malaysia juga menggunakan pegon, akan tetapi dengan menggunakan aksara Arab-Melayu (Sri Wahyuni,Rustam Ibrahim: 2017).”
Dari sini bisa dilihat bahwa Aksara Arab pegon tidak hanya menggunakan bahasa Jawa, tetapi juga menggunakan aneka bahasa, seperti Arab-Melayu, Arab-Sunda, Arab-Bugis, dll. Dikatakan dengan Aksara pegon, karena tulisan yang dirangkai dalam penulisan teks menggunakan simbol huruf Arab yang dikombinasikan dengan bahasa lokal sekitar. Seperti kita lihat, proses pemaknaan kitab di Jawa Barat yang letaknya di daerah Bandung hingga kini ada yang menggunakan bahasa Sunda, ada juga di luar Jawa yang menggunakan bahasa Bugis, di Sumatera pengajian kitab ada yang menggunakan bahasa Melayu.
Penggunaan Aksara Arab pegon telah menumbuhkembangkan warna corak keagamaan masyarakat dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan sistem pembelajaran ala ahlisunnah wal jama’ah, yang dicirikan dengan paham asy’ariah dalam bidang teologi, syafi’iyah dalam bidang fiqh, dan pengamalan pandangan al-Ghozali dan Junaidi al-Bagdadi dalam bidang kajian tasawuf, telah memberikan pengaruh santri yang kemudian hari disampaikan di tengah-tengah masyarakat.
Di tengah-tengah Modernisasi, kajian kitab kuning berbasis Aksara Arab pegon masih dipertahankan oleh pesantren salafiyah (klasik), walaupun ada juga pesantren yang mempertahankan tradisi salafi, tetapi mengikuti laju perkembangan era modern, yang disebut dengan pesantren khalafiyah (mengkombinasikan antara ajaran salafi (klasik) dan khalafi (modern). Dengan berpegang teguh dalam jargonnya “al-muhafdzatu ala qadimi shalih wal akhdzu bil jadidi aslah” kalangan pesantren khalafiyah mencoba untuk mempertahankan tradisi ulama’ klasik, dan memilah-milah arus perkembangan modern yang sekiranya baik dan pantas untuk diikuti.
Kajian kitab kuning berbasis Aksara Arab pegon telah berhasil membenturkan dalam realitas kekinian. Darisinilah sesungguhnya tugas pesantren untuk merawat akar tradisi, dan sekaligus keberhasilannya dalam mengontekstualisasikan di era kekinian. Kuatnya model pendidikan Islam secara turun-temurun telah mencetak kader-kader ulama’ yang mampu menyandingkan Islam dan tradisi budaya lokal. Wallahu a’lam bi shawab.
Komentar
Posting Komentar