By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi
Perjuangan seorang Ibu memang tidak bisa disandingkan dengan materialistik. Seperti yang kita tahu, seorang ibu memang pejuang sejati. Sebelum kita lahir di dunia, seorang Ibu telah meramu kita sejak dalam kandungan. Betapa hebatnya beliau, selama sembilan bulan, beliau dengan gagah, kuat, sabar, dan kasih sayang merawat kita dengan sebaik-baiknya. Walaupun di tengah-tengah aktivitas ibu rumah tangga yang begitu padat, beliau tetap kuat mampu menyeimbangkan antara kegiatan sehari-hari dan merawat kandungannya. Tidak hanya itu, disaat melahirkan, beliau juga berani mempertaruhkan nyawanya supaya si jabang bayi berhasil melihat dunia. Bahkan disaat sang ibu meninggal karena melahirkan, Nabi mengabadikannya dalam hadisnya bila seorang ibu meninggal karena melahirkan, maka ia mati syahid.
Di kala kita masih jabang bayi, orang yang paling kuat dan istiqomah menggendong jabang bayi ialah ibu. Seorang bapakpun kurang yakin akan keistiqomahan layaknya seorang ibu. Apalagi disaat si jabang bayi merengek-rengek dari pagi hingga petang. Siapa lagi yang mampu mengatasi persoalan tersebut, pasti jalan terakhir ialah tetap dipangkuan seorang ibu. Maka tidak heran, kala anak menjadi dewasa hubungan antara ibu dan anak tidak bisa terpisahkan. Walaupun anaknya pergi dimanapun berada, bathin seorang ibu kepada anaknya tidak mampu dikalahkan oleh seorangpun. Bila dilihat dari segi teknologi era sekarang, bathin seorang ibu kepada anak ibarat sinyal 4G yang mampu menembus dimensi.
Hubungan bathin antara ibu dan anak memang sulit untuk dipisahkan. Kita ambil contoh kala ibu memondokkan anaknya di pesantren. Apabila ibunya gelisah dan rindu karena memikirkan anaknya di pesantren, tentu akan berimbas kepada ketenangan dan ketentraman seorang anak. Dan tentunya akan mempengaruhi semangat anak dalam proses thalabul ilmi. Sebaliknya, bila ibu memasrahkan segenap jiwanya kepada Allah, dan yakin dengan sebenar-benarnya bila anaknya akan baik-baik saja, maka masa depan anak dalam thalabul ilmi akan terbuka lebar. Ini sepele, tapi segala bentuk sikap dhahiriah dan bathiniahnya seorang ibu sangatlah mempengaruhi masa depan seorang anak. Maka tidak heran, segala ucapan yang dilontarkan oleh seorang ibu diamini oleh malaikat. Walaupun bukan alumni pesantren, ilmuan, lulusan perguruan tinggi, tapi segala pitutur yang diucapkan oleh seorang ibu sangatlah berpengaruh kepada anaknya. Dalam kitab at-Tanwir syarah jami' ash saghir dijelaskan,
رضا الرب فى رضى الولدين وسخطه سخطهما
"Ridha Allah tergantung ridha kedua orangtuanya dan murka Allah tergantung murka keduanya." (Ash-shan'ani, juz 6, hlm. 257)
Hadis di atas memberikan isyarat, bila jangan sekali-kali membangkang perintah orang tua, khususnya seorang ibu. Apa ada cerita orangtua tidak sayang kepada anaknya, sebagai anak seharusnya membalas kasih sayangnya kepada kita. Bukan berarti kita layaknya seorang raja, yang harus mengikuti semua keinginan yang kita lakukan. Sebagai anak, seyogyanya menyerahkan secara totalitas seluruh jiwa kita kepada orang tua. Jangan sampai membuat marah orang tua, sebaliknya kita seharusnya membuat orang tua bangga kepada anaknya. Ingat, apabila orang tua marah, maka semua perkataan jelek pasti dilontarkan. Sedangkan setiap perkataan yang diucapakan seorang ibu adalah do'a.
Masih ingatkah kisah Juraij si ahli ibadah, ketika beribadah ia dipanggil ibunya sampai tiga kali, akan tetapi ia lebih mementingkan ibadahnya ketimbang memenuhi panggilan ibunya. Maka saat itu pula, ibunya berdo'a kepada Allah apabila ia tidak akan mati sebelum wajahnya dipertontonkan di depan pelacur. Sungguh dasyat, perkataan yang dilontarkan oleh ibunya diterima Allah. Ia difitnah oleh pelacur yang dengan sengaja apabila kandungan yang ada didalam perut pelacur tersebut merupakan anak dari Juraij. Padahal, ini adalah skenario Allah untuk Juraij. Akhirnya dengan kekuasaan-Nya, Allah meluruskan skenario yang dibuat-Nya. Itulah hebatnya perkataan orang tua.
Anak merupakan investasi orang tua, jangan sampai dikala sukses, justru meninggalkannya. Kesuksesan tercipta bukan hasil jerih payah sendiri. Melainkan hasil dari kesuksesan do'a seorang ibu. Sebagai anak, seyogyanya jangan sampai meninggalkan masa-masa tuanya. Inilah peran kita yang sesungguhnya, dikala orang tua menginjak masa tua, maka kita akan berperan layaknya orang tua mengasuh kita. Kita akan menggantikannya, dan orang tua akan menjadi layaknya seorang bayi. Inilah skenario Allah, orang tua mencetak generasi waladun shalihun (anak shalih) supaya kelak dimasa tuanya bisa memetik hasilnya. Wallahu a'lam bi ash-shawab
Komentar
Posting Komentar