By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Budaya Nusantara masih kental memperlakukan perempuan sebagai konco wingking. Yang artinya segala aktivitas yang dilakukan perempuan hanya dilakukan di Belakang. Ada yang lebih ekstrem dari makna tersebut, yakni perempuan tugasnya hanya memasak di dapur. Perempuan perannya hanya masak (memasak), macak (berdandan), dan manak (melahirkan). Jadi seakan-akan perempuan hanya sebagai alat pemuas laki-laki. Itulah mind seat budaya masyarakat yang hingga kini mengakar kuat.
Salah satu tokoh emansipasi perempuan yang patut dijadikan panutan adalah Raden Ajeng Kartini. Beliau merupakan tokoh yang bisa menginspirasi kaum hawa untuk menuju kesuksesan. Kartini merupakan sosok wanita inspiratif. Walaupun ia kehidupannya sebagai kaum ningrat. Namun kehidupannya hampir sama dengan perempuan di Jawa saat itu. Perempuan di Jawa masih terkungkung dalam tradisi pingitan. yakni salah satu tradisi adat Jawa sebagai persiapan bagi gadis muda untuk menuju pernikahan. Sehingga perempuan saat itu kurang akrab dengan dialektika ilmu pengetahuan.
Walaupun Kartini saat itu terpenjara dalam kamar pingitan, semangat kartini untuk mengembangkan intelektualnya tidak padam. Selama masih pingitan, ia selalu mengasah kemampuannya untuk membaca dan berdialog. Kemampuan bahasa Belandanya yang fasih dimanfaatkannya untuk berdialog dengan sahabat Belandanya, yakni Rosa Abendanon. Ia gemar membuat catatan-catatan untuk mengekspresikan keluh kesahnya kepada sahabat karibnya tersebut.
Ia kerap gelisah dengan kemajuan perempuan pribumi. Apabila dibanding dengan perempuan eropa, bisa dibilang jauh tertinggal. Perempuan eropa sudah sering ke luar masuk Universitas, dan kemampuan akademiknya sangatlah berkembang pesat. Dari sinilah ia mulai termotivasi, dan berusaha untuk memajukan perempuan pribumi. Baginya, perempuan pribumi masih dalam status sosial yang rendah.
Kartini sering kali mengkonsumsi buku-buku, majalah, dan koran. Guna menambah khazanah keilmuannya. Dalam kesehariannya, ia juga bercengkrama dengan surat kabar berbahasa Belanda yang ada di Jawa. Tidak hanya dibaca, ia juga mendiskusikannya kepada Pieter Brooshooft. Majalah tentang wanita Belanda yang berjudul De Hollandsche Lelie bisa dikaji dengan baik. Bahkan dari hasil kajiannnya, ia bisa menulis dan diterbitkan di majalah.
Ketekunannya dalam hal kaum perempuan, membuatnya ingin memunculkan suatu gerakan emansipasi perempuan yang menuntut kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum. Tidak heran bila usahanya itu bisa mengantarkan profilnya sebagai sosok perempuan intelektualis yang terkenal dengan haus bacaan. Ia merupakan perempuan yang kritis dengan fenomena masyarakat. Bahkan karya-karyanya bisa dijadikan motivasi bagi kaum hawa untuk lebih maju, khususnya dalam kehidupan masyarakat.
Ia merupakan tokoh yang bisa dijadikan referensi bagi perempuan yang ingin merdeka. Hasil usahanya dan jerih payahnya dalam bidang kemajuan perempuan, ia hingga kini menjadi salah satu tokoh perempuan yang terdaftar menjadi pahlawan nasional. Hingga kini, jasa-jasanya dikenang oleh masyarakat.
Komentar
Posting Komentar