Langsung ke konten utama

Edisi Ramadhan (3): Ta’dhiman wa Kiraman kepada Guru dalam Kitab Jawahirul Adab

 


By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi

Masih edisi di bulan Ramadhan, saya meneruskan kajian Jawahirul Adab di Bait ke sepuluh karya Kyai Nawawi. Di tema ini, saya tidak bosan mengingatkan kepada murid untuk menuntut ilmu dengan cara menghormati guru. Hal ini akan mempengaruhi kualitas ilmu yang didapatkannya. Banyak kitab-kitab akhlak di era klasik yang membahas betapa pentingnya peran guru dalam memberikan pencerahan dhahir dan bathin, khususnya dalam bidang agama. Maka jangan sekali-kali memiliki fikiran kotor kepada guru. Fikirkanlah hal yang positif, dan tinggalkanlah yang negatif. Dalam ta’lim wa muta’alim di bab faslun fi ta’dzimi al ilmi wa ahlihi (Jarnuji: t.t: 17) dijelaskan,

  اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ وتوقيره

“Ketahuilah, sesungguhnya orang yang mencari ilmu itu tidak akan memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan ilmu beserta ahlinya, dan memuliakan guru.”

Menuntut ilmu tidak sekedar menjadi pintar, nilai yang baik, dan mendapatkan ijazah. Namun harus memikirkan masa depannya apakah ilmu yang sudah dicari bisa membawa keberkahan dan kemanfaatan. Banyak sekali yang memiliki kecerdasan, namun tidak membawa kemanfaatan di lingkungannya. Justru yang biasa-biasa saja mampu menjadi peneduh masalah-masalah yang ada di lingkungannya. Sehingga menjadi panutan masyarakat di sekitarnya. Inilah yang dimaksud berkah.

Syekh Nawawi memberikan beberapa cara dalam memulyakan guru dalam baitnya. Dalam bait ke sepuluh dijelaskan, ketika murid bertemu dengan gurunya hendaknya tidak acuh tak acuh. Seyogyanya mengagungkannya dengan cara berhenti, minggir, dan menyapa secara halus. Di  era sekarang masih banyak yang belum sadar diri dengan hal dasar seperti ini. Egois yang sudah tertanam pada benak murid mulai mengakar kuat. Tidak heran kalau sekelas Prof. Quraish Shihab sampai mengarang buku yang berjudul “yang hilang dari kita akhlak”. Karena kebobrokan mindseat pemuda masa kini sudah jauh dari tradisi Islam di Nusantara. Selain itu, kurangnya edukasi penanaman adab dan akhlak kepada pemuda di era kini.

Selanjutnya bait ke sebelas dijelaskan, Ketika guru sampai di kelas seharusnya murid sudah dalam keadaan siap di tempat, dan menyiapkan tempat duduk gurunya. Hal ini untuk melatih kesunggguhannya menuntut ilmu dan memulyakan pembawa ilmu. Bukan guru yang harus mengoprak-oprak murid dan menunggunya sampai masuk dalam kelas. Sebetulnya ilmu itu dicari bukan mencari. Murid harus peka terhadap kebutuhannya. Sungguh aneh, dahulu murid berbondong-bondong untuk mencari gurunya. Namun sebaliknya, dalam ruang lingkup sekolah formal kebnayakan berbanding terbalik dalam tradisi shalafus shalih. Mereka guru harus menjemput bola. Agar pembelajaran bisa kondusif. Hal ini sudah menjadi hal yang biasa. Mengingat background kehidupanlah yang menjadikan murid harus di tata secara perlahan-lahan.

Begitulah keadaan dunia pendidikan saat ini. Guru harus sabar dalam menghadapi situasi di era sekarang. Di saat strategi dhahir sudah diterapkan dan hasilnya tidak sesuai dengan angan-angannya. Maka selebihnya kita serahkan diri kepada Allah. Berikan fatihahmu untuk murid-muridmu dalam setiap ibadah shalat yang dijalani. Doakanlah mereka, semoga Allah membukakan hatinya untuk menjadi anak yang lebih baik. Wallahu a’lamu bi ash shawab.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...