Langsung ke konten utama

Resensi Buku Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur'an

By. Muh. Imam sanusi  

A. Pendahuluan
Hermeneutika dalam Al-Qur’an merupakan istillah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Dalam diskursus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istillah at-Tafsir, at-Ta’wil dan al-Bayan. Tentunya ini tidak mengherankan, sebab tidak dijelaskan sebelumnya bahwa istillah hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang diadopsi dan digunakan belakangan oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur’an. 
Meskipun teks al-Qur’an demikian inspiratif, namun cukup mengherankan bahwa dalam sejarahnya ternyata perbincangan mengenai problem hermeneutik tidak muncul seiring dengan kemunculan teks Al-Qur’an dalam sejarah. Dan istilah hermeneutik sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya ilmu tafsir al-Qur’an klasik, memang tidak ditemukan. Istillah tersebut kalau melihat perkembangan hermeneutika justru popular ketika Islam dalam masa kemunduran.   
Perdebatan  tentang penafsiran al-Qur’an melalui hermeneutika dan tentang penerapan hermeneutika hingga saat ini masih dimunculkan di kalangan para ulama’ dan sarjana Islam. Pro dan kontra pun terjadi dan tidak dapat dihindari. Sebagian dari mereka menolak hermeneutika secara totalitas. Sebagian yang lain menerimanya secara keseluruhan dan sebagian yang lain lagi berusaha menengah – nengahi perbedaan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa sebagian teori hermeneutika dipandang diterima dalam kajian keislaman.
Di Indonesia, misalnya sarjana – sarjana seperti Adian Husaini, menolak hermeneutika secara mutlak, sementara Quraish Shihab, seorang professor dalam bidang tafsir al-Qur’an dan salah satu penafsir, memiliki pandangan berbeda mengenai heremenutika, beliau menyatakan bahwa teori dan metode dalam hermeneutika bisa digunakan dalam memahami al-Qur’an.
Bermula dari perbedaan pendapat inilah kiranya penulis untuk mereview buku “Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an” karya Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Buku ini secara mendalam membahas tentang penolakan Adian Husaini terhadap teori dan metode hermeneutik sebagai kajian dalam memahami al-Qur’an, selain itu Abdurrahman Al Baghdadi memberikan hidangan tafsir sebagai bentuk tawaranya untuk memahami al-Qur’an.
B. Biografi Penulis
1. Adian Husaini lahir di Bojonegoro, jawa timur, 17 Desember  1965. Saat ini sebagai kandidat Doktor  bidang pemikiran dan peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM).
Akivitasnya saat ini adalah sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), wakil ketua komisi Kerukunan Umat Beragama MUI, Pengurus Majlis Tabligh PP Muhammadiyah, anggota Dewan Direktur di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilazation (INSISTS) dan redaksi Majalah ilmiah ISLAMIA, serta pemimpin Redaksi jurnal Al-Insan. Juga, secara rutin, menulis Catatan Akhir Pekan (CAP) untuk Radio DAKTA 107 FM dan website www. Hidayatullah.com.
2. Abdurrahman Al-Baghdadi, lahir di Lebanon, 1 Ramadhan 1373/21 Mei 1953. Tahun 1984-1991 ditugaskan di Indonesia sebagai Dosen Bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) dan dosen di fakultas Syariah di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Pada 1992-2000 sebagai Dosen Ilmu Tafsir dan Hadis di Akademi Dakwah Islam Athahariyah (ADIA), Jakarta dan tahun 2000-2002 menjadi Penasihat Badan Artibitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), Jakarta.
Sejak 2002 hingga 2006 diperbantukan untuk Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Hidayatullah, Jakarta sebagai dosen bahasa Arab, Tafsir, Hadits, dan Fiqih di berbagai lembaga pendidikan Hidayatullah. Tahun 2006-sekarang sebagai dosen di Ma’had Ali Pesantren Husnayain dan STIE Husnayain, Ciracas, Jakarta.
C. Review Buku
a) Struktur Buku
Buku karangan Adian Husaini dan Abdurrahman Al Baghdadi ini berjudul “Hermeneutika Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an”. Buku tersebut diterbitkan oleh Gema Insani pada bulan oktober tahun 2007 dan cetakan kedua diterbitkan pada buan Mei tahun 2008. Buku yang merupakan satu ringkasan dan rangkuman dari berbagai tulisan di beberapa buku, makalah, dan artikel media massa dicetak secara ringkas 90 halaman, yang tidak semuanya berisi pembahasan.
Pembahasan dalam buku ini secara garis besar terbagi menjadi dua bab yang dimulai dari halaman 8 sampai 74. Halaman 1 sampai  7  berisi   halaman sampul, informasi kepenerbitan (copy Right), daftar isi, pengantar penerbit, dan pengantar penulis.
Pembahasan Bab pertama dimulai di halaman 8 sampai 44. Bab ini berisi pembahasan dengan judul “dampak hermeneutika terhadap Tafsir”. Pada bab ini berisi sub – sub yang masih ada kaitannya pembahasan tersebut dengan judul: a) Dari Tradisi Kristen b) Apa itu Hermeneutika c) Dampak Hermeneutika dan penutup. Pada bab kedua dimulai pada halaman 45 sampai 86 dengan judul “Cara Menafsirkan  Al-Qur’an”. Pada bab ini juga berisi sub – sub yang berkaitan dengan bab tersebut dengan judul: a) Perbedaan antara Tafsir dn Takwil b) Cara Menafsirkan Al-Qur’an c) Sumber – sumber Tafsir. Pada halaman 87 berupa biodata penulis.
D. Bagian Penting
Pada bagian pertama adalah pemetaan sejarah hermeneutika dari tradisi Kristen sampai tradisi Islam. Pada bab ini Adian Husaini mengkritik tentang  para pemikir Islam di Indonesia maupun di Timur Tengah yang menggunakan metode hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an.  Adian juga mengkritik penetapan metode hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan tafsir hadis. Menurutnya hal ini merupakan masalah yang serius dalam pemikiran dan studi Islam di Indonesia, kini dan masa mendatang. Dengan  hermeneutika, maka hukum – hukum islam yang selama ini sudah disepakati kaum Muslimin bisa berrubah. Dengan hermeneutika, bisa keluar produk hukum yang menyatakan wanita boleh menikah dengan laki – laki non-Muslim, khamr menjadi halal, laki – laki punya masa iddah seperti wanita, atau wanita punya hak talak sebagaimana laki – laki, atau perkawinan homoseksual/ lesbian menjadi halal. Semua perubahan itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan “tafsir kontekstual” yang dianggap sejalan dengan perkembangan zaman. 
Menurutnya, umat Islam sudah memiliki tafsir, sebagai salah satu khazanah klasik umat Islam yang sangat berharga. Sebagaimana halnya dengan ilmu hadis, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan sebagainya. Sepanjang sejarah Islam , tidak pernah ada gelombang sebesar saat ini dalam menggugat ilmu tafsir al-Qur’an dan mempromosikan metode asing (dari tradisi Yahudi-Kristen), yang sangat berbeda dengan metode tafsir al-Qur’an selama ini.
Selanjutnya pembahasan diarahkan ke dampak  penggunaan hermeneutika sebagai metodologi baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut Adian, dampak penggunaan metodologi hermeneutika dalam kajian al-Qur’an yakni :
1. Relativisme Tafsir
Para pengaplikasi hermeneutika menganut paham relativisme, tidak ada tafsir yang tetap, semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal. Menurut Adian, paham yang demikan sangat berbahaya, sebab: a) Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga selalu berusaha memandang kerelativan kebenaran Islam, b) Menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang sudah teruji selama ratusan tahun. Baginya, hermeneutika masih berkutat pada masalah dekonstruksi sejumlah konsep/hukum Islam yang sudah dipandang baku dalam Islam. Akibatnya, para pendukung hermeneutika tidak akan mampu membuat satu tafsir al-Qur’an yang utuh. Karena ilmuwan pendukung hermeneutika masih belum membuahkan pemikiran islam yang utuh dan komprehensif. c) Menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Hukum – hukum Islam yang sudah dinyatakan final dan tetap akan senantiasa bisa diubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dengan demikan, penggunaan hermeneutika sebagai salah satu metode tafsir al-Qur’an bisa sangat berbahaya, karena berpotensi besar membubarkan ajaran – ajaran Islam yang sudah final. Ini sama artiya dengan membubarkan Islam itu sendiri. Maka dari itu, para akademisi Muslim seyogyanya sadar benar akan bahaya besar ini, dan bukan hanya bersikap tidak peduli atau bahkan sekedar mengikuti tradisi Barat dalam memperlakukan agama Yahudi dan Kristen.
2. Curiga dan Mencerca Ulama’ Islam
Para pendukung metode ini juga tidak segan – segan memberikan tuduhan yang membabi buta terhadap para ulama’ Islam yang terkemuka, seperti Imam Syafi’I, yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para pendukung hermeneutika. Imam Syafi’I selain dikenal sebagai mufasir. Beliau dijadikan panutan oleh para ulama’ dan umat Islam sedunia. Namun, dikalangan pendukung hermeneutika, Imam Syafi’I dijadikan bahan kritikan bahkan pelecehan.
Para pendukung hermeneutika dan pencerca ulama – ulama Islam ini, biasanya dengan sangat ringan mengutip dengan pendapat – pendapat Immanuel Kant, Paul Ricour, habermas, Michael Foucoult, Antonio Gramsci, dan sebagainya, dengan tanpa sikap kritis, dan dengan mudahnya menjiplak gagasan mereka untuk diaplikasikan terhadap al-Qur’an.
Menurut Adian, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membaca arah para pendukung hermeneutika untuk al-Qur’an. Mereka sejatinya ingin mengubah Islam agar bisa disesuaikan dengan zaman modern. Mereka ingin “islam yang baru,” bukan Islam yang dulu dipahami oleh para sahabat, tabi’in, tabi’it tabiin, dan generasi awal Islam yang berjasa meletakkan fondasi keilmuan Islam yang kokoh dan tahan uji. Mereka karena terpesona atau terjebak ke dalam gemerlapnya metodologi Barat dalam studi agama –agama menolak penggunaan metode yang dirumuskan para ulama Islam, tetapi malah memasukkan unsure metodologi asing yang kadangkala bertentangan dengan metode Islam sendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3. Dekonstruksi Konsep Wahyu
Sebagian pendukung hermeneutika, dalam penafsiran al-Qur’an cenderung memandang teks al-Qur’an sebagai produk budaya. Dalam bingkai hermeneutika, Al-Qur’an jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu Tuhan lafadz dan makna sebagaimana dipahami mayoritas umat Islam, tetapi ia merupakan produk budaya atau setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab, yaitu budaya di mana wahyu diturunkan.
Dalam kajian hermeneutik, tahap terpenting dalam melakukan kajian terhadap makna teks , adalah melakukan analisis terhadap corak teks itu sendiri. Ia baru bisa mendefinisikan apa itu “teks”. Dengan itulah dapat diketahui kondisi pengarang teks. Dari sinilah, salah satu ulama’ pengikut hermeneutika menempatkan Nabi Muhammad sebagai pengarang teks. Al-Qur’an diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Jadi, Muhammad merupakan bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya.
Pada bagian terakhir, Abdurrahman Al-Baghdadi memberikan suatu tawaran tentang penggunaan tafsir bukan hermeneutika, yakni ketika menafsirkan Al-Qur’an haruslah sesuai dengan  al-Qur’an itu sendiri dengan tekstual bukan kontekstual. Poin-poin pada tawaran dia dalam menafsirkan antara lain:
a. Dalam menafsirkan al-Qur’an perlu diketahui apa yang dikemukakan oleh al-Qur’an dengan mempelajari secara global, hingga hakikat yang dikemukakan al-Qur’an tampak jelas. Kemudian dipelajari dari segi lafadz dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah.
b. Dalam menafsirkan al-Qur’an harus mengenal “rasa bahasa” yang menyangkut masalah sastra. Jika sastra dalam al-Qur’an dapat dikuasai secara rinci atas dasar kesemuanya itu, barulah orang dapat menafsirkan al-Qur’an.
c. Untuk memahami kisah – kisah, atau berita – berita tentang berbagai umat manusia pada zaman silam atau untuk memahami kata – kata atau kalimat yang menceritakan berita tersebut, tidak perlu kita cari maknanya di dalam Taurat ataupun Injil. Karena memang tidak ada kait pautnya dengan bahasa Taurat dan Injil. Demikian dalam memahami makna isi kandungan al-Qur’an, tidak perlu  menjadikan Taurat dan Injil  sebagai referensi sejarah terdahulu, sebab yang menjelaskan makna isi al-Qur’an adalah Rasulullah SAW.
E. Analisis
Problem dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran teks umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang demikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-Turats (Tradisional) di satu sisi. Dan konsentrasi atas hubungan mufassir dengan teks ini merupakan titik pangkal dan persoalan yang serius bagi filsafat hermeneutik.
Pada dasarnya upaya untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an telah berjalan sejak generasi pertama Islam, bahkan dapat dikatakan Nabi Muhammad SAW sendiri sampai pada tahap tertentu juga telah melakukan upaya yang sama, meskipun setiap muslim yakin bahwa ia tidak mungkin salah dalam memahami atau menafsirkannya, karena Allah SWT selalu mengontrol fikiran dan perkataannya. Dalam perkembangan selanjutnya, cara untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur’an ini kemudian dibakukan dalam satu disiplin ilmu tertentu yang kemudian dikenal dengan “ilmu Tafsir”.
Sejalan dengan kebutuhan dan tantangan akan suatu metode penafsiran yang bercorak konstekstual, maka dalam dunia filsafat telah berkembang satu “metode penafsiran” ini oleh kalangan tertentu (terutama yang pemahaman ilmu tafsir masih dangkal, atau kalangan liberalis yang kurang memperhatikan kode etik penafsiran) dianggap memiliki nilai akurasi dan validitas yang tinggi ketika mengelola teks, dan metode ini biasa dikenal dengan sebagai “hermeneutika”.
Secara umum, heremeneutika dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna.  Istillah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Card Breatten mendefinisikan hermenutika sebagai ilmu yang merefleksikan tentang sesuatu kata atau event yang ada pada masa lalu untuk dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam konteks kekinian. Jadi, hermeneutika berusaha menafsirkan teks atau event di masa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia.  Sementara penulis Arab, hermeneutika diterjemahkan dengan ‘Ilmu at-Ta’wil atau Ta’wiliyah dan ada juga yang langsung menamainya dengan ilmu tafsir, karena memang secara umum fungsinya adalah menjelaskan maksud teks yang diteliti.
Pada prinsipnya, beberapa tokoh hermeneutika terdapat beberapa kesamaan pemikiran, terutama dalam hal bagaimana hermeneutika jika dikaitkan dengan studi ilmu – ilmu sosial dan humaniora. Tetapi, diantara mereka juga terdapat perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Perbedaan tersebut terjadi karena pada dasarnya mereka menitikberatkan pada hal yang berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda. Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk “menafsirkan” berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya, harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dibidang ilmu sejarah dan kritik teks. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandangkan teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna dengan mempertimbangkan horison – horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison pengarang, dan horison pembaca.
Pertanyaan yang sering muncul oleh peminat studi al-Qur’an adalah: “Samakah Hermenutika dengan Ilmu Tafsir al-Qur’an ? Atau “Apakah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an kita perlu juga menggunakan Hermeneutika?” Jawabannya tidaklah hitam putih; “ya” atau “Tidak”.
Jika Hermeneutika terbatas diartikan sebagai Ilmu yang digunakan untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah, maka agaknya tidaklah keliru jika dikatakan bahwa Hermeneutika telah dikenal oleh ulama Islam jauh sebelum munculnya Hermeneutika di Eropa. Karena itu pula, paling tidak, sebagian dari bahasan Hermeneutika telah dikenal oleh ulama-ulama Islam. Hermeneutika klasik, memiliki banyak landasan yang sama/mirip dengan apa yang dikenal dalam bahasan ulama Islam menyangkut Ilmu-Ilmu penafsiran al-Qur’an. 
Menurut Quraish Shihab, jika melihat tujuan pertama dan utama mempelajari dan memahami makna kosakata, konteks yang terdalam dan tersembunyi dari kitab suci, maka kita juga akan berkata memerlukan bahasan ilmu itu untuk keperluan pemahaman kitab suci al-Qur’an.
Jika dilihat dari pemaparan Adian Husaini terhadap penolakan metode hermeneutika dalam memahami al-Qur’an memiliki beberapa kelemahan. Menurut Sahiron Syamsuddin, para penolak hermeneutik telah terjebak pada sikap simplikasi terhadap hermeneutika. Hermeneutika yang ia sebutkan di atas hanya satu aliran dari sekian aliran hermeneutika Barat. Hermeneutika yang dirujuk olehnya hanyalah hermeneutika dekonstruksi yang memandang bahwa penafsir memiliki hak penuh untuk menentukan makna teks yang ditafsirkan, sehingga seakan – akan makna yang dimaksudkan oleh pengarang teks tidak lagi penting.
Padahal selain aliran yang demikian masih banyak aliran yang bersikap obyektif, seperti Schleiermacher. Misalnya, dalam teori gramatikal dengan tiga prinsipnya yang sangat relevan untuk kajian dan penafsiran al-Qur’an. Prinsip pertama, menyatakan bahwa seorang penafsir harus mengerti bahasa yang digunakan oleh pengarang teks (author) atau audiens historis. Berarti seseorang yang ingin memahami teks al-Qur’an harus mengerti bahasa Arab yang digunakan pada saat al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu dari segi makna kosakatanya maupun struktur bahasanya. Hal ini penting karena bahasa Arab memiliki apa yang disebut dengan singkroni dan diakroni. Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap arti kata dan struktur kalimat dalam al-Qur’an, seorang penafsir harus memperhatikan penggunaan kosa kata dan struktur bahasa yang memang berlaku ketika teks al-Qur’an itu diwahyukan.
Sebagai contoh, kata ikhlash yang pada masa setelah penurunan didefinisikan dengan keinginan mendapatkan ridha dan pahala Allah semata dalam beramal baik itu ternyata mengalami diakroni. Pada masa penurunan al-Qur’an kata tersebut tidak/ belum diartikan dengan pengertian di atas, tetapi memiliki arti yang sangat mirip dengan kata tawhid yang belum digunakan di dalam al-Qur’an. Salah satu surat di dalamnya bernama surat al-Ikhlash yang berisi tentang keesaan Allah. Demikian pula, kata mukhlisin lahu al-din pada surat al-Bayyinah : 5 tidak berarti orang-orang ikhlas dengan pengertian di atas, melainkan orang-orang yang memurnikan agamanya dengan cara tidak melakukan penyembahan kepada selain Allah.
Prinsip yang kedua menyatakan bahwa dalam proses penafsiran seorang penafsir harus melakukan analisa sitagmatis, itu sangat bermanfaat bagi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak polisemi, dalam bahasa Arab musytarak al-ma’ani. Untuk menentukan makna /arti mana yang dimaksudkan oleh kata tertentu dalam suatu ayat, seseorang harus memperhatikan kata-kata yang ada di samping kanan, samping kiri atau sekelilingnya. Analisa semacam ini sudah diimplementasikan oleh para penafsir al-Qur’an, baik di masa awal-awal Islam, masa tengah, masa modern maupun masa kontemporer. Dengan analisa semacam ini, muncullah karya-karya berharga dalam tradisi Islam, yang biasa disebut al-wujuh wa al-nazha’ir (variasi dan keberagaman makna kata).
Prinsip ketiga menyatakan bahwa dalam proses penafsiran seseorang harus memperhatikan hubungan antara bagian-bagian dan keseluruhan. Prinsip ini pun sangat signifikan dalam penafsiran al-Qur’an. Pesan atau maksud ayat bisa dipahami apabila masing-masing kata di dalamnya dipahami dan diperhatikan secara tepat, dan sebaliknya arti kata bisa dipahami dengan baik apabila memperhatikan pesan keseluruhan ayat. Demikian pula, pesan suatu ayat atau sekumpulan ayat bisa ditangkap dengan baik dengan memperhatikan keseluruhan pesan al-Qur’an, dan pesan utuh al-Qur’an hanya bisa dipahami berdasarkan pesan-pesan yang ada di masing-masing ayat. Secara sederhana bisa dikatakan, perhatian terhadap konteks tekstual (siyaq al-kalam) sangat membantu keberhasilan seseorang dalam penafsiran al-Qur’an.
Terkait hermeneutika psikologis yang ditawarkan oleh Schleirmacher yang disinggung oleh Adian, kita bisa mengatakan bahwa hermeneutika psikologis tersebut tidak mungkin untuk diaplikasikan dalam penafsiran al-Qur’an, karena hermeneutika tersebut menuntut penafsir untuk menyelami ‘psikologi’ Allah sebagai ‘pengarang’ (author) teks al-Qur’an. Hal ini tidak mungkin kita lakukan secara hakiki atau seratus persen. Psikologi manusia saja sangat sulit untuk diketahui secara pasti. Psikologi Allah berada di luar nalar dan pengetahuan manusia. Yang bisa kita ketahui hanyalah sifat-sifat dan al-asma’ al-husna yang disebutkan dalam al-Qur’an, dan pengetahuan manusia tentang itupun sangat terbatas, tidak mungkin mencapai seratus persen. Namun, semangat/ spirit hermeneutika psikologis ini adalah bagaimana seorang penafsir itu mampu menangkap apa yang mendorong seorang pengarang teks itu menciptakan atau membuat pernyataan/teks. Untuk mengetahui hal ini, tentunya yang bisa dilakukan oleh seorang penafsir al-Qur’an memperhatikan latar belakang/konteks historis turunnya suatu ayat, atau yang biasa disebut dengan sababun al-nuzul. Dengan demikian, resepsi terhadap hermeneutika psikologis itu bisa dilakukan dengan cara mengadaptasikannya dengan hakikat teks al-Qur’an sebagai wahyu illahi.
Kelemahan selanjutnya terkait paham relativisme yang dikemukakan oleh Adian Huasaini, Quraish Shihab berpendapat bahwa jangan berkata bahwa kalangan umat Islam diakui adanya keragaman dalam ketetapan hukum dan semuanya dinilai benar. Bukankah ulama membenarkan aneka fatwa yang berbeda yang dikemukakan oleh mufti-mufti? Itu benar, tetapi harus disadari bahwa fatwa berkaitan dengan ‘illat, dan berkaitan dengan argumentasi yang bisa diterima oleh A dan ditolak oleh B. Hukum-hukum agama pun berkaitan agama pun berkaitan dengan kemaslahatan dan yang ini berkaitan dengan kondisi yang dihadapi, sehingga kalau situasi dan kondisi berubah dan illatnya tidak ada lagi, maka fatwa mufti berubah.  Jadi, relativisme hanya secara redaksi berbeda akan tetapi secara substansi sama. Dan paham tersebut suatu saat akan dibutuhkan, mengingat yang menjadikan berubah adalah kasus dengan situasinya.
Disisi lain, tidak semua persoalan bersifat relatif. Ada yang bersifat pasti (qath’i) dan disepakati semua ulama, bahkan oleh semua manusia. Perbedaan mereka adalah dalam rincian dan dalam persoalan-persoalan yang tidak jelas. Perbedaan itu tidak berkaitan dengan kebenaran atau kenyataan, tetapi berkaitan dengan upaya menemukan kebenaran yang sesuai dengan kenyataan, sedang kenyataan yang terjadi tidak beragam, tapi hanya satu. Memang, kalau pendapat yang dikemukakan oleh seorang mufti yang telah memenuhi syarat-syarat, berbeda dengan pendapat mufti lain yang juga telah memenuhi syarat-syarat, maka perbedaan tersebut ditoleransi selama tidak menyangkut prinsip-prinsip umum yang telah disepakati kebenarannya. Bahkan bisa jadi fatwa mereka berbeda, namun keduanya benar, hanya salah satunya lebih baik daripada yang lain.
Selanjutnya menanggapi masalah dekonstruksi wahyu, berkaitan dengan al-Qur’an sebagai produk budaya, yang dikemukakan Adian di atas bisa dibenarkan apabila produk budaya yang dimaksud adalah teks yang digunakan al-Qur’an atau kandungan-Nya adalah produk hasil karya, rasa, dan cipta manusia, sebagaimana definisi budaya, maka ini jelas bertentangan dengan akidah Islam. Akan tetapi, jika yang dimaksud produk budaya adalah teks/ bahasa yang digunakan Allah dalam menyampaikan pesan-pesan-Nya adalah bahasa manusia, sedang bahasa manusia adalah produk budaya, atau bahwa al-Qur’an menyampaikan pesan-pesannya dalam masyarakat yang memiliki budaya, yakni dia tidak hadir dalam masyarakat tanpa budaya, lalu Allah melalui al-Qur’an berinteraksi dengan masyarakat yang berbudaya itu serta menggunakannya dalam memberi contoh dan bimbingan-Nya, maka agakya makna ini tidak terlalu jauh dari apa yang disinggung oleh umat Islam. Bukankah ada ayat-ayat yang turun meluruskan budaya masyarakat atau mengukuhkannya ? Bukankah sebagian gaya redaksi-Nya ada yang mengikuti gaya redaksi masyarakat Arab ? Itu dilakukan Allah agar manusia paham. Kalau demikian itu, maka agaknya tidak salah kalau dikatakan bahwa Allah  SWT, Dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menggunakan budaya manusia untuk menjelaskan tuntunan-Nya, bukan al-Qur’an adalah produk budaya.     
F. Kesimpulan
Upaya Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi dalam menolak hermeneutika sebagai bentuk usaha dalam menjaga tradisi keilmuan Islam dengan mengikuti petunjuk-petunjuk ulama’ terdahulu. Walaupun, al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan tentunya Adian dan Abdurrahman selalu berhati-hati dalam memahami al-Qur’an. Dan jalan yang mereka berdua lakukan adalah dengan menghidangkan kajian Umat Islam berupa “ilmu dan tafsirnya”.
Hermeneutika dalam kajian Islam menimbulkan pro dan kontra baik dari ulama’ lokal maupun Timur Tengah. Akan tetapi, walaupun hermeneutika merupakan kajian dari Barat tentunya kita harus bersikap bijaksana dalam dunia akademik khususnya. Quraish Shihab berpendapat bahwa jika hermeneutika diartikan sebagai penjelas tentang maksud firman-firman Tuhan, maka tidaklah keliru jika dikatakan bahwa sebenarnya hermeneutika telah dikenal oleh ulama Islam.
Maka dari itu, dalam memahami teks al-Qur’an dengan hermeneutika harus berusaha mendudukkan persoalan dengan selalu mendekatkan diri dari kecurigaan terhadap dirinya sendiri, selain itu juga  

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 2015. Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an. Cet. Ke-3. Tangerang: Lentera Hati.
Buchori, Abdusshomad. 2012. Ilmu Tafsir: Sejarah dan Implementasinya. Cet. Ke-3. Jawa  Timur: MUI Jawa Timur.
Syamsuddin, Sahiron. 2017. Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.
Husaini, Adian dan Al-Baghdadi, Abdurrahman. 2008. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Cet. Ke- 2. Depok: Gema Insani.
Raharjo, Mudja. 2007. Hermeneutika Gadamerian. Malang: UIN-Malang Press.
Supena, Ilyas. 2014. Hermeneutika Al-Qur’an dalam pandangan Fazlur Rahman. Yogyakarta : IKAPI.
Atho’, Nafisatul dan Fahrudin, Arif (ed.).2013. Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, Cet. Ke-2. Yogyakarta: IRCiSoD.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...