Langsung ke konten utama

Kisah Cinta Antara Nabi Muhammad dan Siti Khadijah






Oleh: Muh. Imam Sanusi Al Khanafi


Pagi hari merupakan kegiatan yang paling efektif dalam memulai aktivitas. Dengan udara yang segar, dan diimbangi dengan fikiran yang fresh, menjadikan suasana menjadi begitu nyaman dan tentram.
 
Kala itu penulis memulai aktivitas dengan merangkai sedikit kata perkata dalam menyusun sebuah kalimat. Terbersit dalam fikiran penulis untuk mengingat kembali sosok panutan umat Islam yang tentunya sangat dikagumi oleh kaum Adam maupun Hawa, yakni baginda Nabi Muhammad SAW.

Kali ini penulis akan menjelaskan tentang sang pengagum Nabi Muhammad SAW yang berasal dari kaum Hawa, yakni Siti Khadijah. Dia merupakan seorang perempuan yang begitu terpandang mengingat, ia merupakan seorang wanita Quraisy yang kaya-raya. Tak jarang laki-laki begitu kagum dengan sosok dia karena kecerdasan dan keanggunan Khadijah.
 
Akan tetapi, Khadijah lebih memilih Nabi Muhammad, mengingat Nabi terkenal dengan kejujurannya dalam kegiatan bermasyarakat maupun dalam hal bisnis berdagang, selain itu dia juga diimbangi dengan ketampanannya menjadikan wanita mulai dari kalangan gadis hingga janda terpikat dengan aura-aura yang ada dalam diri Nabi SAW. Kala itu Khadijah yang merupakan seorang janda berangan-angan,

” Andai saya menyukainya, apakah dia bisa menerima saya, sedangkan saya merupakan seorang janda, sedangkan Muhammad merupakan seorang perjaka.”

Khadijah memang tidak yakin jika lamarannya diterima olehnya. Karena jika dikaitkan dengan ibu Nabi ketika masih hidup kala itu, mungkin Khadijah sebanding dengan ibunya. Karena Khadijah tidak hanya menikah sekali saja, tapi dua kali. Akhirnya dengan kemampuan dan kecerdasan Khadijah, serta juga diimbangi dengan pengalaman dia ketika menikah, khadijah memberanikan diri untuk menceritakan cintanya kepada Nufaisah untuk disalurkan isi hatinya kepada Nabi. Dengan inilah kisah minang-meminang dimulai kala Nufaisah menyampaikan maksud dan tujuannya menghampiri diri Nabi. Jika dalam konteks di Jawa bisa dikatakan ‘nembung (part 1)’.

Pertemuan antara Nufaisah dan Nabi menghasilkan kabar menggembirakan bahwa Nabi sepakat menikah dengan Khadijah. Dengan semua persiapan kawin ditanggung dan diatur oleh Nufaisah dan Khadijah. Dengan kesediaan Nabi, akhirnya keberlangsungan pernikahan antara Khadijah dan Nabi Muhammad SAW tidak terbendung lagi (part II). Dan inilah kisah cinta antara Nabi dan Khadijah tumbuh dan melekat diantara mereka berdua. Motivasi Nabi setuju menikah dengan Khadijah bukan karena dia gila harta seperti yang dikatakan para orientalis. Binti Syathi’ menjelaskan bahwa Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah dikarenakan untuk mengisi kasih sayang keibuan dari Khadijah yang tidak dirasakannya lagi sejak usia 6 tahun, yang sepanjang hari merasakan kepedihannya, karena ditinggal oleh Ibunya.

Sekali lagi, Nabi tidak mungkin menikahi Khadijah dengan alasan kekayaan yang dimiliki Khadijah. Jika memang Nabi berfikir demikian, mengapa Nabi malah menikahi janda, sedangkan yang gadis kaya-raya nan cantik masih banyak. Kesetiaan kisah cinta antara Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah terbukti hingga meninggalnya Khadijah, kala Fathimah bint Muhammad menanyakan kepada bapaknya, jika Aisyah ibu tirinya berkata kepada Fathimah yang menyatakan bahwa Aisyah lebih baik ketimbang Khadijah dengan alasan bahwa Aisyah menikahi Nabi dalam keadaan masih gadis, sedangkan Khadijah menikahi Nabi dalam keadaan Janda. Akan tetapi pendapat yang demikian dibantah dengan begitu sopan dan bijaksana oleh Nabi dengan menyuruh anaknya Fathimah untuk menyampaiakan pesan darinya, bahwa Nabi menikah dengan Khadijah dalam keadaan perjaka, sedangkan Aisyah menikah dengan Nabi dalam keadaan duda. (Baca Shirah Nabawiyah)

Hal ini memberikan isyarat bahwa nabi masih mengingat betul kesetian dan jasa Khadijah semasa hidupnya. Jika seandainya Nabi tidak setia dengan Khadijah, secara tidak langsung nama Khadijah sudah tiada dalam fikiran Nabi. Dan hal tersebut tidak terjadi pada diri Nabi, bahwa cinta tetap melekat pada diri Nabi SAW.

Perlu diketahui, sesungguhnya Cinta sejati dan kesetiaan antara laki-laki dan perempuan terjadi setelah menikah, hingga ajal menghampirinya. Begitulah yang dialami oleh Nabi yang menyatakan bahwa cintanya kepada Khadijah melebihi dari istri-istri sesudahnya. Hingga jika dikaitkan dengan kecerdasan dan kecantikan Aisyah, Nabi lebih mencintai istri pertama, yakni Khadijah. Jika diibaratkan dengan kisah cinta antara Romeo dan Juliet, cinta tersebut tidak hanya menyatu, akan tetapi luntur dan masuk disetiap sel-sel darah yang telah menjadi daging.

Inilah kisah cinta abadi antara Nabi Muhammad dan Khadijah. Dalam bahasa Quraish Shihab, ini merupakan puncak yang diperankan seorang laki-laki kepada perempuan. Khadijah merupakan wanita yang cantik, anggun dan kaya-raya yang ketika ingin mendapatkan laki-laki akan dimudahkan justru lebih memilih seorang laki-laki yang tampan, jujur dan berwibawa. Dan sasarannya tepat. Inilah cinta, tanpa memandang harta. Bahwa Khadijah lebih memilih laki-laki yang bisa menuntun kehidupannya kejalan yang diridhai oleh Allah. Dan sekali lagi, kebahagiaan tidak diukur dengan harta melimpah, akan tetapi kebahagian diukur dengan tulus dan kecintaannya antara suami dan istri dalam membentuk keluarga yang harmonis, bisa menghadapi badai ketika menerjangnya, bisa saling membantu dan bekerjasama ketika ada masalah, bisa saling memotivasi ketika dilanda kesusahan dan bisa saling mendukung satu-sama lain. Dan inilah kisah cinta Khadijah terhadap Nabi Muhammad, khadijah memilih nabi dalam hal kematangannya dalam berfikir, memiliki kepribadian yang baik, dan asal-usulnya yang bersih.

Kisah cinta mereka berdua telah direncanakan oleh allah. Inilah yang dinamakan jodoh ditangan Allah. allah telah menganugerahi kemampuan untuk mencintai dan dicintai, yang menjadikan kasih dan sayangnya serta ketulusannya bisa menepis sifat-sifat buruk yang melanda rumah tangganya, inilah yang dinamakan mawaddah.
Itulah kisah cinta antara Nabi Muhammad dan Khadijah, andai Khadijah ajalnya tidak mendahului Nabi, maka Nabi tidak mungkin untuk menikah lagi. Itulah pengorbanan cinta. Dalam era sekarang, cinta hanya sebatas pemanis mulut. Dan hanya bisa bertahan di muqadimah, yakni pertemuan cinta antara laki-laki dan perempuan, jika sudah dalam tahap isi, sedikit demi sedikit mulai tidak tahan dengan terpaan dan goncangan disetiap badai yang menghampirinya, tidak saling menguatkan justru saling menyalahkan, apakah hal tersebut bisa dikatakan cinta yang tulus ?

Kisah ini memberikan pesan kepada kita, dan terkhusus bagi penulis untuk selalu bersikap profesional dalam memahami makna cinta yang sebenar-benarnya. Kisah ini memberukan pelajaran kepada kita bahwa cinta itu bukan sekedar permainan, jika sudah bosan ditinggalkan. Akan tetapi cinta itu dirasakan bukan hanya dialuli melalui gombalan ungkapan. Semoga tulisan ini bisa menggugah kita untuk lebih bijaksana dalam memahami makna-makna cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...