Langsung ke konten utama

NUANSA SUFISTIK IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IN DALAM TAFSIR AL-IKLIL FI MA’ANI AT-TANZIIL KARYA KH. MISBAH MUSTAFA







Oleh: M. Imam Sanusi Al Khanafi

Islam datang ke wilayah Nusantara melalui proses akulturasi antara Islam yang dibawa oleh kaum sufisme dengan budaya lokal yang ada. Sehingga, dengan memadukan antara Islam dan budaya lokal akan saling melengkapi dan saling mengisi antara satu sama lain. Walaupun kedua wilayah tersebut ada tumpang tindih. Yang mana kedua wilayah tersebut memiliki perbedaan, jika Islam merupakan suatu Agama yang turun dari langit dan bersifat paten, sedangkan budaya lokal merupakan hasil dari kreasi penduduk bumi yang selalu berkembang seiring perkembangan zaman. 

Bersamaan dengan proses awal masuknya Islam di Nusantara, kitab suci al-Qur’an diperkenalkan para penjuru Dakwah kepada penduduk pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap al-Qur’an tentu merupakan hal yang penting, karena al-Qur’an merupakan kitab suci pedoman hidup umat Islam. Oleh karena itu, pengenalan untuk orang-orang nusantara dengan al-Qur’an terjadi dengan bersamanya Islam dipeluk oleh penduduk Nusantara, meskipun pengenalan tersebut bukan secara akademik. (Islah Gusmian: 2013: h. 16)

Dengan pengenalan kitab suci al-Qur’an, para pendakwah memiliki berbagai macam metode dalam berdakwah, salah satunya dengan menciptakan berbagai karya seperti kitab tafsir. Dengan munculnya kitab tafsir inilah umat Islam bisa mudah dalam mempelajari isi pokok kandungan yang ada dalam al-Qur’an. Di Indonesia sendiri, al-Qur’an diterjemahkan dan ditafsirkan dalam berbagai bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah. Salah satu tafsir al-Qur’an yang ditafsirkan dan diterbitkan dalam  Bahasa Jawa adalah KH. Misbah bin Zainul Mustafa (1916-1994 M) yakni Tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī at-Tanzīl.

Kitab tafsir ini sangat terkenal utamanya di sebagian kalangan masyarakat muslim tradisional di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.( Ahmad Baedowi:2015: h. 35) Penggunaan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon menjadikan tafsir tersebut memiliki karakter dan ciri khas yang perlu diteliti lebih lanjut. Karena setiap warna-warni penafsiran seorang penafsir memiliki prinsip metode dalam menafsirakan al-Qur’an, selain itu produk penafsiran penafsir merupakan representasi dari semangat zaman untuk menghasilkan sebuah karya demi mewujudkan kemajuan Islam di bidang Pengetahuan, khususnya dalam bidang tafsir di nusantara.
Biografi singkat KH. Misbah bin Zainul Mustafa
Misbah Mustafa lahir pada tahun 1916 M di Rembang, Jawa Tengah. Nama lengkapnya adalah Misbah bin Zainul Mustafa, yang merupakan anak dari pasangan H. Zainul Mustafa dan Chadijah. Dari hasil pernikahan kedua orangtuanya, menghasilkan anak, yakni Mashadi (Bisri Mustafa), Salamah(Aminah), Misbah dan Ma’sum. Anak-anaknya semuanya sukses menjadi tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing. (Supriyanto: 2017: h. 33)

Latar belakang pendidikan KH. Misbah dimulai dari sekolah dasar yang bernama SR(Sekolah Rakyat) pada usia 6 tahun. Di tahun 1928 dia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Kasingan Rembang di bawah asuhan KH. Khalil bin Harun, selain itu dia juga berguru kepada KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng. Berbagai bidang keilmuan yang dipelajarinya yakni, ilmu Bahasa Arab, fiqih, ilmu kalam, hadis, tafsir, dan lainnya. Di tahun 1948, pada usia 31 tahun, dia menikah dengan Masruhah yang merupakan anak dari KH. Ridhwan pengasuh pondok pesantren di Bangilan Tuban. Ketika mertuanya meninggal, dia menggantikan mertuanya menjadi pengasuh  pondok di Bangilan, Tuban. (Baidowi: 2015: h. 36)

Pada usia 78 tahun, tepatnya pada hari senin, 07 Dzul Qo’dah 1414 H, atau bertepatan dengan 18 April 1994 M, dia wafat, dengan meninggalkan dua istri, lima putra beserta karyanya yang belum selesai, antara lain 6 buah kitab berbahasa Arab yang belum sempat diberi judul dan tafsir Tâj Al- Muslimîn yang sampai wafatnya baru selesai empat juz.(Iskandar: 2015: h. 193)

Karya-karya yang dihasilkanya di bidang tafsir, hadis, tasawuf, fiqih, kalam antara lain: terjemahan al-Muhâdzab, terjemahan bahasa Jawa Minhâjul Abidin , Alfiyah Kubra dalam bahsa Jawa, Nadhom Maksud Dalam Bahasa Jawa dan Nadham Imrithi dalam bahasa Jawa, tafsir Tâj Al- Muslimîn, terjemahan Tafsir Jalalain dalam bahasa Jawa, terjemahan Al-Jami’ al-Soghir, terjemahan Tijan al-Darori dalam bahasa Jawa, terjemahan Ihya’ Ulumuddin dalam bahasa Jawa, dll.(Iskandar: 2015: h. 194)
Nuansa Sufistik penafsiran iyyakana’budu wa iyyaka nasta’in
Corak sufistik merupakan salah satu kecenderungan mufassir dalam menafsirkan ayat dalam al-Qur’an dengan menguatkan teori-teori sufistik berdasarkan metode para sufi yang ahli mujahadah (bersungguh-sungguh dalam beribadah) dan telah mencapai ahwal(pengalaman spiritual, karena kesungguhan mereka dalam beribadah). Tafsir yang bernuansa sufistik pada dasarnya menegaskan bahwa al-Qur’an sesungguhnya memiliki mutiara-mutiara makna yang sangat dalam, tetapi sangat sulit apabila dimaknai secara makna lahir dengan menggunakan struktur linguistik. (Abdul Mustaqim:2016: h. 126)

Jika dianalisa dengan teori, sebuah teks tidak bisa mewakili sebuah gagasan atau ide yang muncul pada diri seorang penulis, dikarenakan gagasan atau ide itu terbatas. Sedangkan teks tersebut terbatas, mengingat teks berbentuk huruf-huruf yang terbatas. Untuk itu, cara yang efektif dalam menganalisa sebuah teks kepada pengarangnya yakni dengan Allah SWT melalui proses mujahadah, sehingga mereka mendapatkan kasyf. Hanya orang-orang yang dekat kepada Allah inilah penafsir bisa mengungkap makna-makna yang tersembunyi dalam teks tersebut, hal inilah kurang lebih klaim dari penafsir yang bercorak sufistik.(Abdul Mustaqim:2016:h.126). Hanya saja, dalam dunia akademik pemikiran tesebut sulit diukur dengan validitas apakah makna tesebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Mengingat dalam dunia akademik membutuhkan data yang valid untuk memverifikasi penafsiran tersebut.
Di lihat dari segi pemikiran yang dilakukan oleh KH. Misbah, ayat-ayat yang ditafsirkan cenderung menggunakan nuansa sufistik. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa, kondisi sosial keagamaan dan kultur Islam yang ada di Jawa juga mempengaruhi penafsiran KH. Misbah Mustafa. 
Seperti dalam tafsiran pada ayat ke-5 surat alfatihah, yang berbunyi: iyya kana’budu wa iyyaka nasta’in (“Hanya kepada engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada engkaulah kami meminta pertolongan”). KH. Misbah menafsirkan ayat tersebut dengan Ibadah kepada Allah SWT yakni menjalankan  segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sesuai yang telah dipraktikkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. (baca: al-Iklil).
KH. Misbah membagi ibadah menjadi tiga, yakni:
1. Ibadah yang dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT atau dengan melakukan ibadah supaya terhindar dari siksa api neraka. Menurutnya, ibadah dengan maksud demikian merupakan tingkatan yang paling rendah. Karena pada hakikatnya adalah yang disembah bukan Allah melainkan ganjaran. Allah hanya dijadikan lantaran apa yang dikehandikanya, supaya tujuannya tercapai.
2.Ibadah dengan tujuan supaya menjadi orang mulia, karena dengan lantaran ibadah inilah bisa lebih dekat kepada Allah. Ibadah yang demikian masuk pada tingkatan yang sedang.
3.Ibadah kepada Allah dengan tujuan untuk mengagungkan Allah SWT sebagai Sang pencipta, Sang penguasa Alam jagad raya, Sang pemberi rahmat, dan Sang pemberi nikmat yang sepatut-patutnya wajib disembah. Jadi, yang dimaksud dengan ibadah pada tingkatan ini adalah ibadah yang semata-mata karena Allah SWT (lillahi ta’ala). Tingkatan demikian merupakan yang paling tinggi. 
Dalam penafsiran KH. Misbah, beribadah jika hanya mengharap pahala dari-Nya ataupun agar supaya terhindar dari siksa-Nya, tentu ibadah tersebut kurang begitu maksimal. Pemahaman seperti ini perlu di dekonstruksi, sebab tujuan manusia dalam beribadah tidak hanya mengharap pahala dan terhindar dari siksa neraka. Akan tetapi merupakan kewajiban setiap Umat muslim sebagai makhluk yang diciptakan untuk memuliakan dan mengagungkan Sang Maha Agung. Karena setiap nafas yang manusia hirup di dunia ini merupakan bentuk kecintaan yang telah diberikan oleh Allah kepada umatnya supaya bisa menjalankan aktivitasnya sehari-hari, baik dalam berhubungan dengan Allah maupun manusia.

Dalam tafsiran surat al-fatihah pada ayat ke-5, dia juga mengutip pendapat Abu Hasan As-Sadzili, yang menyatakan bahwa iyya kana’budu menjelaskan tentang isyarat untuk melaksanakan syari’at yang telah ditetapkan oleh Agama Islam. Sedangkan iyyaka nasta’in itu menjelaskan tentang pelaksanaan secara hakikat. Maksudnya adalah Allah memerintahkan umat muslim untuk beribadah kepada-Nya dengan cara melaksanakan syari’at dan hakikat. Dalam firman-Nya: wa’buduu Allaaha wa laa tusyrikuu bihi syaiaa (“dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah engkau mempersekutukannya dengan sesuatu apapun”).

Manusia ketika diberi pertolongan dan kenikmatan oleh Allah SWT kadang-kadang melalaikan kewajibannya untuk menjalankan ibadah. Karena Manusia lebih mengejar kepentingan dunia dari pada akhirat. Misal: semangat bekerja sampai melupakan kewajibannya dengan Allah. Dalam firman-Nya: Laa haula wa laa quwwata illa billah (“tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung”).

Sesungguhnya yang memberikan kekuatan, pertolongan, kesehatan dan kenikmatan dunia dan akhirat hanyalah Allah. Hal inilah yang  seharusnya dijadikan prinsip bagi manusia untuk selalu menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Apabila kepentingan Akhirat didahulukan, maka kepentingan dunia akan dimudahkan oleh-Nya selama manusia terus berusaha secara dhahiriah  dan bathiniah.

Manusia pada dasarnya tidak mampu mewujudkan sesuatu yang diingankan apabila Allah tidak menghendakinya. Jadi, ketika mengucapkan iyya kana’budu harus mengerti bahwa ibadah itu merupakan perintah yang telah disyariatkan oleh Agama Islam. Manakala mengucapkan iyyaka nasta’in harus intropeksi diri, sesungguhnya manusia hanyalah sebagai wayang oleh-Nya yang pasti membutuhkan pertolongan Allah. Hal inilah yang perlu ditanamkan kepada manusia untuk selalu beribadah kepada-Nya, karena manusia hidup dengan dua mata kehidupan, yakni mata syari’ah dan mata hakikat. Dalam firman-Nya: wa man kaana fii haazihi a’maa fahuwa fi al-aakhirati a’maa wa ad}allu sabiilaa  (“dan barangsiapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan(yang benar)”)

Ayat di atas tentunya mengandung beberapa filosofis yang perlu dipahami oleh manusia. Dalam pemaparan ayat di atas, KH. Misbah memberikan sebuah pesan dan tuntunan kepada manusia untuk senantiasa menggunakan ke dua mata kehidupan tersebut dengan seimbang. Kedua mata kehiduapan tersebut tidak bisa dipisahkan, apabila salah satu tidak digunakan dalam kehidupan akan mengalami ketidakseimbangan hidup. Karena dengan ke dua mata kehidupan inilah manusia bisa sukses dan harmonis di dunia maupun di akhirat. 
Dalam menafsirkan al-Qur’an, KH. Misbah selalu mengangkat persoalan yang berkembang di masyarakat pada saat itu. Sehingga penafsirannya sangat kental dengan aspek lokalitas yang berkembang di masyarakat. Sesuai dengan latar belakang penafsiran al-fatihah tersebut, jika dilihat dari segi historis memang masyarakat pada saat itu masih kurang menyeimbangkan antara kepentingan ukhrawi dan duniawi. Mereka justru mementingkan dari segi duniawinya. KH. Misbah berusaha untuk mengubah mindset masyarakat yang berkembang pada saat itu menjadi masyarakat yang memiliki pendirian yang kuat terhadap Agama.
Pemikiran yang seperti ini tentunya patut diapresiasi mengingat kondisi budaya dan kultur masyarakat dari era klasik hingga modern perkembangannya sangat pesat. Tentunya para ulama’ berusaha semaksimal mungkin supaya bisa mengarahkan umatnya ke jalan yang benar. Dengan adanya  gagasan baru inilah, khazanah keilmuan dan wawasan para ulama’ patut dijadikan pertimbangan bagi kalangan akademik maupun non akademik, khususnya dalam pelestarian kitab karya-karya para ulama’ dan cendekiawan muslim di nusantara.

Sebagaimana terlihat dalam tafsir al-Iklīl ini, ia berusaha menghadirkan al-Qur’an secara langsung sebagai petunjuk utama ajaran Islam dikalangan masyarakat Islam Jawa. Di sini, ia berusaha menampilkan masalah-masalah keagamaan yang berkembang di masyarakat, salah satunya dengan menafsirkan ayat-ayat alQur’an.

Dalam penafsiran KH. Misbah pada ayat ke-5 surat al fatihah memberikan pesan jika beribadah hanya mengharap pahala dari-Nya ataupun supaya terhindar dari siksa-Nya, tentunya ibadah tersebut kurang begitu maksimal. Dengan hadirnya Pemahaman yang menyeleweng perlu adanya dekonstruksi untuk mengingatkan kepada umat Islam  supaya dalam beribadah tidak hanya mengharap pahala dan terhindar dari siksa neraka saja. Akan tetapi merupakan kewajiban setiap muslim sebagai makhluk yang diciptakan oleh-Nya  untuk selalu memuliakan dan mengagungkan-Nya sebagai penguasa alam jagad raya.

Konstruksi pemikiran Misbah dalam tafsir al-Iklīl ini, secara langsung maupun tidak, telah memberikan warna baru di kalangan ulama pesantren Jawa, khususnya dalam hal penggunaan al-Qur’an secara langsung. Tafsir ini merupakan representasi dari produk ulama’ dan cendekiawan khususnya di wilayah Nusantara. Dengan hadirnya tafsir ini tentunya bisa meminimalisir permasalahan-permasalahan yang semakin berkembang di masyarakat. Wa Allahu a’lam bi as shawab.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...