
By. Muh. Imam Sanusi Al-Khanafi
Perempuan merupakan makhluk yang
mulia, perempuan dalam Islam disebut Muslimah. Ada beberapa makna muslimah yang
ada dalam al-Qur’an, diantaranya bermakna unsa (نثى ا). Dalam bahasa Arab, unsa (انثى) menunjukkan sifat seorang
perempuan. Diantara kekhususan dan keistemewaan yang hanya dimiliki perempuan yaitu, pertama,
perempuan bisa mengandung (Qs: 7: 189), karena punya rahim. Kedua, perempuan
bisa melahirkan (Qs: 2: 233). Dan ketiga, memberikan ASI(menyusui) (Qs: 2: 233).
Perempuan jika memiliki tiga sifat tersebut pantas untuk menjadi seorang ibu.
Maka dari itulah Nabi mengatakan,
“Berbuat baiklah
kepada ibu, ibu, ibu, kemudian bapakmu dan kerabat dekatmu.”
Ada beberapa
penelitian dari barat jika perempuan (ibu) memiliki peran penting terhadap
anaknya. Dari ketiga keistimewaan tersebut jika disempurnakan akan memiliki
pengaruh penting terhadap anaknya. Menurut pakar penelitian, pengaruh seorang perempuan
(ibu) kepada anaknya sebanyak 75%. Ada hubungan yang begitu erat antara seorang
ibu dan anak, diantaranya emosi, mental, dan perasaan. Walaupun seorang anak
dipisahkan dari ibunya sejauh manapun pasti hubungan kedekatan seorang ibu
kepada anaknya memiliki kedekatan bathin. Karena selama mengandung, melahirkan,
dan menyusui seorang ibulah yang berperan penting terhadap jalinan kasih
sayang. Contoh: Seorang ayah ingin
memondokkan anaknya berumur 6 tahun, lalu ibunya barkata:” jangan dulu bapak,
anak kita masih berumur 6 tahun, saya tidak tega. Pada waktu umur 7 tahun. Bapak berkata:” ibu, anak
kita udah umur 7 tahun, sudah waktunya di pondokkan !”. Ibunya berkata:” iya
bapak, tapi saya masih belum tega, nanti makannya gimana ? kesehatannya gimana?
Dan tidurnya gimana?”. Ketika anak sudah mondok, ibu berkata:” bapak, saya
kangen si anak, kita sebaiknya sambang ?. Ketika sudah di sambang, ayah berkata:
“ ibuk, ayo pulang, waktu sambang sudah mau habis !”. Ibu berkata: “ bapak,
lima menit lagi ya...? ibu masih rindu, nanti kira-kira makanannya di makan gak ya pak....?. Ketika sampai rumah, 'kira-kira keadaannya si anak gimana ya pak....? apa dia merindukan kita...?" ungkapan ibu dengan nada rindu. Itulah sosok perempuan dengan jiwa keibuannya. Pantas, Nabi mengatakan tiga kali betapa pentingnya peran Ibu.
Inilah kelebihan seorang perempuan yang sudah
menjadi ibu, dimanapun berada ibu dan anak secara bathin pasti memiliki
hubungan rasa. Beda dengan seorang laki-laki yang sudah menjadi seorang bapak.
Belum tentu hubungan antara seorang ayah dan anak memiliki rasa.
Pendidikan Nabi kepada Istri
Derajat seorang perempuan begitu dijunjung
tiggi oleh Nabi SAW.
Bahkan ada pepatah ”jika kamu ingin istrimu seperti khadijah, maka jadilah kamu
seperti Muhammad.” Nabi merupakan laki-laki yang ideal dan tahu bagaimana
menghadapi seorang istri. Hubungan antara Nabi SAW dan khadijah memang patut
dijadikan contoh. Mereka berdua disaat suka dan duka saling menasehati,
mensuport, dan saling mendukung antara satu sama lain. Sehingga kelemahan yang
ada pada mereka bisa ditutupi dan dilengkapi. Salah satu ajaran Nabi kepada
istrinya adalah bersikap lemah dan penuh kasih sayang. Bayangkan, seorang istri
berdiri di belakang suaminya untuk melindunginya. Kemudian sang istri
meletakkan dagunya di pundak sang suami, dan wajah sang istri menempel di pipi
sang suami. Dan kemudian berdiri di pintu rumah
sambil melihat pemandangan. Sang istri meminta ingin berlama-lama dengan
suaminya. Romantisasi antara Nabi SAW dan khadijah memang tidak ada
duanya. Kisah cinta mereka berdua memang
berlandaskan keikhlasan dan tulus, seandainya Nabi SAW menikahi khadijah karena
harta, yang pasti setelah kematian
Khadijah Nabi SAW langsung menikah. Pendapat seperti itu salah besar, ketika
Khadijah meninggal, Nabi tidak menikah selama dua tahun (umur
52). Begitu juga dengan khadijah, ia menikahi Muhammad karena
kejujuran dan ketulusannya, jika Muhammad pantas menjadi pembimbing dalam
berumah tangga.
Pendidikan Nabi lainnya yang perlu
dijadikan panutan adalah siap siaga kala sang istri dalam kondisi kerepotan.
Nabi tidak segan-segan membantu aktivitas sang istri di dapur, menjahit baju,
menjahit sandalnya, dan megerjakan semua pekerjaan rumah yang seharusnya
laki-laki lakukan. Yang paling jarang dilakukan laki-laki lakukan adalah tetap
santun dikala saat marah. Sabda Nabi,
فى مهنة
أهلهكان
“Beliau melayani (membantu mengerjakan tugas) isterinya.”
(HR. Bukhari)
Di saat sang istri mengomel
(bahasa Jawa), Nabi tetap bijak dan santun dalam menghadapi isteri. Jika Nabi
tidak tahan dengan sikap isteri yang melewati
batas, beliau pergi meninggalkan sementara. Supaya amarah yang terpendam pada
diri beliau hilang. Sehingga sang isteri tidak merasa tersakiti. Justru dengan
sikap dan perilaku Nabi kala itu, menjadikan
sang isteri sadar, dan merasa bersalah. Inilah pendidikan Nabi yang menjadikan
sang isteri nyaman, tentram, dan tidak saling menyalahkan, akan tetapi saling
memahami satu sama lain.
Keharmonisan Nabi kepada Isteri
Ada beberapa kisah keromantisan Nabi SAW terhadap isteri, hal ini
semata-mata untuk menghorrmati, menghargai, dan membahagiakan isteri. Menurut
Nabi SAW, bercanda ria, dan bersenda gurau kepada isteri merupakan salah satu
perbuatan berpahala bagi suami. Dalam Sabdanya,
Nabi tidak hanya seorang panglima perang, pemimpin umat, dan penyebar Islam
yang rahmatal lil alamin, akan tetapi juga menjadi seorang suami yang
begitu romantis kepada isteri. Keharmonisan beliau terlihat dikala tangan
sucinya menyuapi isterinya. Suapan Nabi SAW kepada isteri tidak hanya sekedar
menggugurkan kewajibannya sebagai suami supaya mendapatkan pahala. Akan tetapi,
dengan suapan inilah akan muncul keharmonisan, kebahagiaan, dan rasa kasih
sayang yang luar biasa antara suami dan isteri. Di saat isteri dalam keadaan
marah kepada suami, dengan suapan inilah salah satu resep untuk menjalin
hubungan baik kepada suami. Tidak Cuma itu, dengan suapan akan menurunkan
percikan dan bertaburan senyum, canda ria, dan saling menebarkan rasa nyaman,
harmonisasi, dan romantika.
Sekali lagi, membantu pekerjaan isteri tidak semata-mata menurunkan derajat
suami. Justru dengan saling membantu dan memahami satu sama lain di saat saling
membutuhkan akan muncul kekompakan, jalinan kasih sayang, dan tanggung jawab
bersama demi mencapai keluarga sakinah, mawaddah, dan ar-rahmah.
Pencapaian menuju keluarga sakinah, mawaddah,
dan Ar-Rahmah
Menurut Quraish Shihab, cinta,
mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali ruhani dalam perekat
perkawinan, sehingga jika cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan
kalaupun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama.
Menurut Quraish Shihab ada beberapa tahap dalam mencapai keluarga yang
harmonis, diantaranya: pertama, sakinah, level sakinah ini masih naik-turun.
Jadi, kala isteri kadang marah, jengkel, dan tidak menghargai usaha suami sudah
maklum. Karena level ini masih labil, kadang sayang kepada suami, dan kadang
sebaliknya, hal demikian juga dialami oleh suami. Seperti cinta, kadang pupus,
kadang rindu.
Kedua, mawaddah, level ini kelasnya tidak labil, atau jika marah tidak langsung
ngemasi baju dan pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi sudah mampu
menyadari kesalahan, dan saling menerima pendapat satu sama lain. Akan tetapi
pada level ini masih belum steril, yakni bisa mutung, ngambek, dan marah-marah.
Mawaddah adalah level lapang dada, walaupun cinta sudah pudar sudah
maklum, bukankah yang mencintai sesekali hatinya kesal, karena tidak direspon ?
dan yang dicintai kadang-kadang juga cuek dan merasa risih jika selalu
diperhatikan? hal ini sudah biasa, dan lumrah. Selama dalam hati tetap
menanamkan mawaddah (kelapangan dada), maka tidak ada lagi kata
memutuskan hubungan, cinta tetap merekat dalam hati, ibarat pohon yang kulitnya
mulai mengelupas habis, selama ada akar yang menancap akan tetap hidup, itulah
cinta.
Ketiga, Ar-Rahmah, level ini sudah pada taraf stabil, mau jelek wajah, upilen, tidak berdandan,
bukanlah suatu masalah lagi. Selama suami dan isteri rutin mengerjakan tugasnya
masing-masing, menghargai pendapat, dan saling memahami satu sama lain, maka
keharmonisan selalu menyelimutinya. Pada level ini suami-isteri akan
bersungguh-sungguh bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya,
serta menolak segala perkara yang mengakibatkan rumah tangganya terganggu.
Itulah puncak haromonika dan romantika dalam rumah tangga. Isteri adalah amanah di pelukan suami, suami pun
amanat di pangkuan isteri. Tidak mungkin keluarga masing-masing akan merestui
perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman. Suami, begitu juga isteri tidak
akan menjalin hunbungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.
Itulah sekelumit proses pelajaran yang seharusnya patut dijadikan pedoman,
terutama bagi penulis. Semoga kita, dan khususnya penulis menginginkan sekali
untuk mengamalkan pesan kesan yang dilakukan oleh baginda Nabi SAW. Tidak hanya
sekedar teori, akan tetapi benar-benar terjun untuk mengamalkan ilmu yang sudah
diajarkan oleh baginda Nabi melalui sunnah qouliyah, fi’liyah, taqririyah, dan
wasfiyah. Semoga artikel ini bisa membangkitkan kita
untuk tidak merendahkan perempuan. Karena di mata Allah laki-laki dan perempuan sama,
perbedaannya adalah ketaqwaannya. Wa
Allahu A’lam bi As-Sowab.
Komentar
Posting Komentar