By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Orang yang berilmu tentunya banyak rintangan dan tantangan yang muncul, baik dari segi internal maupun eksternal. Tentunya, orang berilmu patut untuk berhati-hati. Jangan sampai hidupnya terpedaya dengan lezatnya skenario yang dibuat oleh Allah.
Orang yang berilmu itu memiliki resiko berat. Kelak, ilmu yang dimilikinya pada akhirnya akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Sesuai amal dan ibadahnya kala mengamalkan ilmu di dunia. Hal yang harus dilakukan bagi orang yang berilmu ialah mengimbanginya dengan pondasi keimanan yang kuat untuk membentengi ujian yang selalu menghampiri.
Menurut Syekh Abdul Qadir Jilani dalam sirul asrar-nya, ada beberapa aneka cobaan orang berilmu (ilmu lahiriah) berdasarkan tingkatannya, diantaranya: pertama, orang yang memiliki ilmu tingkat syari'at. ujian yang dihadapi terkadang menuju ke dalam hal keduniawian (alam materi). Hasrat yang muncul dalam diri manusia selalu bernafsu untuk menguasai alam materi ( duniawi). Misal: mengamalkan ilmu bukan lillah, justru untuk tujuan mencari uang. Hal ini sangatlah berbahaya. Sebab, hasrat yang muncul pada diri seperti ini akan menjadikan ilmu yang seharusnya berdampak positif, berubah menjadi negatif.
Selain itu juga, ketika manusia sudah diberi pangkat sesuai porsi yang diberikan oleh-Nya, manusia selalu kurang dan begitu sangat kurang. Nafsu mendorong untuk menguasai perkara duniawi. Sehingga, nafsu serakah akan muncul pada dirinya, menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu dilalulinya tanpa memikirkan dampaknya.
Kedua, ujian orang yang memiliki ilmu tingkat hikmah, ujian yang diberikan pada tingkatan ini lebih menuju ke alam immateri (kerohanian). Godaan pada tingkat ini terkadang membanggakan diri sendiri bila dirinya sudah merasa berilmu akhirat. Mampu menjauhkan level keduniawian.
Dalam dunia sufi, bila manusia terkena virus level ini, akan merasa meremehkan orang lain bila hidupnya hanya terlalu mendominankan hal-hal keduniawian (masih level syari'at). Beda dengan dirinya, hanya tertuju kepada level ukhrawi.
Ketiga, orang yang memiliki ilmu tingkat hakikat, terkadang ujian yang menghampirinya bila merasakan mampu ber-taqarub ilallah. Ia membanggakan dirinya sendiri sudah merasa mengalami asketis (kezuhudan) ketimbang orang lain (yang memikirkan keduniawian), sehingga segala karomah yang diberikan-Nya seakan-akan terlalu dibanggakan, dan merasa dirinya dikasih kelebihan oleh-Nya, melebihi orang lain.
Berdasarkan setiap tingkatan ujian orang ber-ilmu di atas, Allah memberikan cobaan/ujian kepada hamba-Nya juga berdasarkan level (tingkatan)yang dimiliki hamba-Nya. Tidak serta merta Allah memberikan cobaan dengan ukuran yang melebihi kapasitas yang dimilikinya.
Allah sudah mengukur kapasitas kemampuan hamba-Nya dalam mengatasi ujian yang diberikan oleh-Nya. Hanya saja, manusia terkadang belum menyadari, bila ujian yang diberikan oleh-Nya terlalu berat. Manusia menghadapi ujian tidak dijadikan sebagai landasan sarana muhasabah, bila cobaan ini semata-mata untuk mengukur kapasitas keimanannya. Justru sebaliknya, bila hidupnya tidak menyandarkan diri kepada-Nya, melainkan memalingkan sandarannya ke orang lain. Atau justru menyalahkan kepada sang pemilik ujian/cobaan.
Jebakan-jebakan seperti ini seharusnya dijadikan pelajaran, bukan dijadikan pedoman hidup. Bila manusia sudah menikmati godaan berdasarkan level yang diberikan oleh-Nya. Maka, jalan untuk menempuh ke kehidupan yang hakiki (dekat dengan Allah) akan tersendat, dan hanya berhenti ke level yang telah diberikan oleh-Nya.
Tetaplah berjuang dan selalu mawas diri, bila setiap ujian yang diberikan oleh-Nya sebagai sarana untuk menaikkan derajat manusia. Karena derajat yang diberikan oleh-Nya tidak semudah seperti kita membuat mie sedap (instan). Tapi melalui proses, dan proses yang diimbangi dengan kerendahan hati, keimanan yang kuat, dan selalu optimis bila Allah selalu menolong hamba-Nya disaat mengalami kegersangan, pasti kita akan diberikan petunjuk oleh-Nya dengan mudah. Ingat dalam firman-Nya: Inna ma'al 'usri yusra (sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan).
Ayat di atas sudah jelas, bila setiap ujian yang menerpa terus menerjang, dan dihadapi dengan sabar dan konsisten, maka kemudahan akan menghampirinya.
Namun, ujian yang kita hadapi terkadang menyebabkan kita frustasi, bahkan menitipkan rasa sakit yang begitu mendalam. Akan tetapi, bila manusia bisa menyadarinya dan mampu bangkit, pada akhirnya Allah akan memberikan ketenangan yang sempurna, bahkan bisa membuat kehidupan menjadi harmonis.
Jangan sampai kita masuk ke zona aman. Terkadang, zona tersebut akan menjauhkan kita kepada-Nya. Dan tanpa disadari, level kita hanya mampu menempuh sebatas itu. Kalau kita sampai memanfaatkan ilmu hanya sebatas level yang dijelaskan di atas, tanpa mampu mengendalikannya, maka kita sudah termasuk golongan orang yang berilmu, tapi gagal memanfaatkan ilmu tersebut ke jalan yang diridhai-Nya. Yakni, jalan untuk menempuh kedekatan kepada-Nya (sukses dunia dan akhirat). sebaliknya, justru ilmu tersebut bisa membawa kita untuk menjauhkan diri kepada-Nya, karena akibat kita mengotori kesucian ilmu itu sendiri.
Jangan sampai manusia menyerah, seakan-akan kita hanya berlindung dibalik takdir-Nya. Atau dalam bahasa lain, Allah belum memberikan manusia hidayah. Pernyataan demikian adalah penyakit, sama saja kita mengkambing hitamkan Allah.
Manusia bila hanya kepingin senang-senang, mencari kemudahan tanpa kesusahan, dan dengan mudah mengucapkan "ini merupakan takdir-Nya", justru hal demikian akan memudahkan manusua terjerumus ke dalam lubang hitam (lubang kesengsaraan dan kesedihan). Wallahu a'lam bis shawab.
Modal ilmu merupakan senjata menghadapi ujian
BalasHapusNggih ustadz., leres. Syukron atas wejangannya
BalasHapus