By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Pesantren merupakan investasi budaya yang mencetak generasi muda
berkarakter. Dengan berbagai model dan metode yang diterapkan, ruh dalam
merawat tradisi dan identitas kebudayaan tetap dilestarikan. Para cendekiawan,
ulama, dan budayawan, mengamini bila pesantren sebagai lahan subur untuk
mengenalkan kepada mereka satu peradaban yang sangat kaya, baik dalam bidang
pendidikan keagamaan, pendidikan karakter, dan spiritualitas.
Pesantren memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan kehidupan
di luar. Ia mampu bertahan selama berabad-abad uuntuk terus menerus menerapkan nilai-nilai
hidupnya sendiri. Dalam jangka panjang, pesantren berada dalam kedudukan
kultural yang lebih kuat dibanding dengan masyarakat di sekitarnya. Kedudukan
ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren mentransformasikan secara total
sikap hidup bermasyarakat, tanpa ia sendiri merubah idenitasnya.
Keberhasilan pendidikan pesantren menarik perhatian aktivis
pendidikan, untuk mengenal lebih jauh tentang kepesantrenan. Dengan pendekaan
holistik, para santri ditekankan untuk menelaah, memahami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan aspek pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
keseharian.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksistensi pesantren hingga
sekarang banyak menarik perhatian dari berbagai kalangan, baik dari kalangan
akademik maupun non akademik. Pertama, Aspek psikologis antara kiai dan
santri. Hubungan antara keduanya tidak bisa terlepas, baik dalam majlis ilmu, aktifitas
keseharian, hingga alumni. Konsep ketundukan santri kepada kiai, atau dalam
terminologi jawa disebut ‘nderek kiai’ begitu melekat dalam tradisi
pesantren. Santri ‘nderek kiai’ yang dimaksud berarti menyerahkan diri secara
totalitas. Dalam artian, ia harus rela mengikuti kehendak untuk melayani
segenap kepentingannya. Kerelaan kiai yang mashur dikalangan pesantren dengan
nama ‘barakah’, adalah pijakan santri dalam proses menuntut ilmu.
Dalam keyakinan santri, kiai merupakan publik figur yang memiliki
integritas moral tinggi, pembawa ruh agama, dan karismatik. Hubungan santri
kepada kiai bukan hanya totalitas, tapi juga mengerahkan segenap raga dan jiwa yang dimilikinya untuk ta’dhim.
“Berguru mengharuskan mengerahkan segenap raga dan jiwa yang dimilikinya untuk kebaktian kepada kiai, menyamai kebaktian kita kepada orang tua, dan mertua, bahkan Allah swt. Mereka meyakini, ilmu tidak memberikan sebagian dirinya, sebelum ia menyerahkan segenap totalitas dirinya kepada kiai (Ahmad Baso: 2013).”
Pernyataan di atas memberikan tafsiran, apabila proses ngalap
ilmu dalam tradisi nyantri tidak hanya mengandalkan segi rasionalis, memerlukan
jiwa yang aktif sangat diperlukan dalam menanamkan ilmu hal (tingkah
laku, keadaan atau kondisi). Transmisi ilmu antrara kiai dan santri tidak hanya
berdasarkan jadwal pelajaran yang sudah dicantumkan. Lebih dari itu, kiai
mengajarkan kepada santrinya bukan sekedar teori yang diajarkan di perguruan
tinggi. Kiai memberikan contoh, amalan, dan suritauladan dari teori yang diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kaum santri mampu menyaksikan sendiri di
depannya, secara tidak langsung santri mampu merekam aspek kepribadian kiai.
Semakin banyak melihat kiai menjalankan amalan-amalan kegamaan, akan sempurna
ia mendapatkan ilmu darinya.
Kedua, sikap
mental berani menderita. Selama menempuh pendidikan di pesantren, santri
dilatih untuk hidup pas-pasan, atau dalam bahasa pesantren dinamakan tirakatan.
Dalam bahasa Arab, sinonim dari tirakat
ialah riyadah, yang fungsinya digunakan untuk menjinakkan nafsu hayawaniah
dalam diri manusia. Maka, tidak gentar bila santri hidup serba sederhana kala terjun
dalam kehidupan masyarakat. Mereka meyakini, bila kebahagiaan bukan bersifat
material, akan tetapi immateri. Selama asupan rohani selalu terpenuhi dalam
jiwa santri, gebrakan nafsu duniawi yang semakin merajalela tidak menjadikan
diri mereka hanyut dalam kesedihan dan kesengsaraan. Mereka akan cepat
mendapatkan solusi dalam hal keduniawian. Baginya, ketaqwaan merupakan kata
kunci untuk mendapatkan solusi terhadap masalah yang dihadapinya.
Ketiga, Mandiri.
Pesantren berupaya membiasakan santri untuk berusaha mandiri dalam mencukupi segala
kebutuhan hidupnya, baik dalam sektor perekonomian, pendidikan, keagamaan, dan
sosial. Dalam sektor perekonomian, santri dibiasakan untuk mengatur keuangan
secara mandiri. Sehingga, apabila manajemen keuangan tidak difikirkan dengan
baik, maka resiko boros akan terjadi. Dalam sektor pendidikan, santri dilatih
untuk mencuci, bangun tepat waktu, dan ngaji secara mandiri. Dalam sektor keagamaan,
santri dilatih mandiri untuk meningkatkan kualitas spiritual. Kecerdasan secara
spiritual muncul pada diri sendiri, sehingga keberhasilan dan kesuksesan meningkatkan
ajaran agama, nilai-nilai spiritual, dan membiasakan untuk mengamalkan
nilai-nilai tersebut tergantung seberapa kuatnya untuk bangkit melawan dirinya
sendiri. Dalam sektor sosial, kecakapan untuk berfikir secara dewasa untuk
mengaktualisasikan karakter kepribadiannya dalam kegiatan sosial di pesantren.
Sehingga, dalam berinteraksi kepada sesama manusia tidak melulu mengikuti arus.
Melainkan memiliki pola fikir dan prinsi sendiri.
Dari berbagai sektor kemandirian yang diajarkan di pesantren, menajemen
waktu yang terstruktur merupakan salah satu kunci dalam menggapai kesuksesan
dari aktivitas yang dilakukannya. Kemandirian merupakan upaya untuk menghadapi
permasalahan. Segala aspek masalah yang muncul pada dirinya harus dilatih untuk
dihadapinya secara mandiri. Dengan kemandirian, nalar berfikir santri akan
semakin berkembang. Dengan kemampuan berfikir, santri mampu menganalisa
kondisi, situasi, dan tempat terhadap objek yang dituju. Kemudian natijah dari
hasil pengamatan yang dilakukannya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat,
pembelajaran kitab kuning. Hal ini jelas, pesantren merupakan gudangnya kitab
kuning. Pendidikan basis kitab kuning merupakan wasilah untuk membekali santri
berwawasan tinggi keagamaan. Kitab kuning yang dikembangkan di pesantren pada
nantinya akan dikembangkan di rumah masing-masing. Intisari dari hasil
pembelajaran kitab kuning ialah menuntun pencari ilmu berhubungan vertikal kepada
Allah, mendapatkan ilmu Allah, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Dalam
tradisi pesantren, kiranya kurang lengkap apabila tanpa kitab kuning. Inti dari
tradisi kesantrian dari berbagai golongan ialah pembelajaran kitab kuning.
Itulah kelebihan pesantren, hingga kini sistem pendidikan karakter
yang diajarkannya tetap mempertahankan tradisi klasik secara turun temurun. Mempertahankan
ciri khas pendidikan pesantren merapakan upaya menjaga eksistensi pesantren.
Darinya, kita bisa mendalami sistem pendidikan pesantren yang mampu menyeimbangkan
dari segi teoritis dan praksis. Darinya juga, kita bisa belajar berbenah untuk
belajar mendidik diri sendiri sebelum mendidik orang lain. Wallahu a’lam bi
shawab
Joshh
BalasHapusTop
BalasHapusmantab sekali
BalasHapus