Langsung ke konten utama

NGALAP BERKAH KERBAU KIAI SLAMET




 
By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi

Kebudayaan merupakan hasil kreatifitas manusia. Suatu kebudayaan memiliki kandungan makna dalam menggambarkan suatu hal yang menjadi pola kebiasaan masyarakat, seperti religi, kesenian. Kebudayaan mempunyai arti yang banyak, baik untuk individu maupun masyarakat. Sebab, kebudayaan memberikan suatu pendidikan atau pengajaran untuk hidup dengan alam dan sekitarnya. Selain itu, kebudayaan memberikan nilai-nilai moral dalam berinteraksi dengan manusia dan lingkungan.

Di Indonesia, hubungan antara budaya dan Agama tidak bisa terpisahkan. Justru saling menguatkan dan melengkapi satu sama lain. Hal demikian merupakan hasil perjuangan dan kreasi tokoh-tokoh penyebar Islam di Nusantara. Dengan memadukan antara Agama dan budaya, menjadikan Islam bersifat ramah, toleran, dan harmonis. Begitu juga dengan budaya, dengan  hadirnya Islam, menjadikan budaya terawat, diperkaya, dan diperkuat. Sehingga, bisa disejajarkan dengan peradaban dunia yang lain. Salah satu budaya yang kental dengan nilai-nilai Agama adalah Kirab budaya malam 1 suro di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kota Solo. Prosesi tersebut diikuti oleh abdi dalem keraton dan masyarakat sekitar. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin dalam menyambut datangnya tahun baru Islam (hijriyah). Dalam prosesi kirab, Kebo Kiai Slamet memiliki peran penting terhadap suksesnya acara tersebut.

Bagi masyarakat Solo, Prosesi Kirab merupakan momentum yang dinanti-nanti. Sebab, ritual tersebut merupakan simbol budaya penanda datangnya bulan suro atau muharram. Warga di berbagai luar kota berdatangan hanya demi melihat dan sekaligus ngalap berkah prosesi acara Kirab Kebo Bule Kiai Slamet. Sebagian dari masyarakat percaya, mengikuti kirab bisa membawa berkah dan keselamatan hidup dalam kehidupan dunia. Ritual Kebo Bule di malam 1 suro di awali dengan dipanjatkan do’a oleh abdi dalem di depan kori kemandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Seusai berdoa, para abdi dalem menyebar singkong dan taburan kembang tujuh rupa untuk menyambut si Kerbau Bule keturunan Kiai Slamet yang dikeramatkan. Konon, ritual ini tidak akan dimulai jika si Kerbau Bule tidak mau keluar kandang dengan sendirinya. 


“Dalam Situs Web Kepustakaan Keraton Nusantara, Ritual kirab malam 1 Sura berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari Kebo kiai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat kiai Slamet. Jika saatnya  tiba,  biasanya tanpa harus digiring kawanan Kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton.  Peristiwa ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika  menyaksikan kirab.”( dikutip dari keraton.perpusnas.go.id)


Jadi, jika Kerbau tersebut tidak keluar dari kandangnya, maka acara tersebut tidak bisa dimulai. Tidak ada satupun dari abdi dalem dan sentono keraton berani memaksa Kerbau untuk keluar dari kandangnya. Mengingat, hewan tersebut begitu dikeramatkan.

Para punggawa keraton tidak memperlakukan Kerbau Bule layaknya seperti binatang lainnya. Mereka memperlakukannya layaknya seperti pangeran. Setelah Kerbau keturunan Kiai Slamet keluar dari kandangnya, para abdi dalem memberikan semacam penghormatan dengan gaya kejawen. Mereka melakukan sungkem di depan Kerbau keramat, kemudian mengalungkannya dengan untaian kembang melati dan kantil. Setelah itu, si Kerbau dibiarkan untuk memakan singkong di depan Qori Kemandungan Keraton.

Sekawanan Kerbau  Bule berjalan sendiri dari  depan Qari Kemandungan Keraton , berjalannya si Kerbau keramat menandakan  dimulainya prosesi  kirab pusaka di  Malam 1 Suro. Dengan  didampingi serati atau pawang Kerbau berbaju putih, empat kerbau Bule keturunan Kiai Slamet  memimpin jalannya kirab di barisan paling depan, dan ribuan warga pun terlihat telah memadati sepanjang  jalur rute Kirab dari arah kanan dan kiri. Tak ada kilatan lampu flase dan juga gemah suara manusia. Hanya derap langkah peserta kirab yag beralas kaki yang terdengar, semua  hening ketika  Kirab Kerbau mulai berlangsung. Dalam prosesi tersebut, di belakang kerbau terdapat para barisan punggawa kerajaan dengan membawa tombak sejumlah  koleksi pusaka milik keraton  Kasunanan Surakarta. 

Sedangkan, kawanan Kerbau keramat berada di barisan terdepan, mengawal  pusaka keraton Kiai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Dan yang menarik, orang-orang menyikapi kekeramatan Kerbau Kiai Slamet sedemikian rupa, sehingga  cenderung tidak  masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, dan saling berebut untuk menyentuh atau menjamah tubuh Kerbau bule. Tak cukup menyentuh tubuh si Kerbau, orang-orang terus berjalan di belakang Kerbau, menunggu sekawanan Kerbau bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut  mendapatkannya. Hal demikian memang tidak masuk akal, mereka meyakini bahwa kotoran si Kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan  rejeki berlimpah. Mereka menyebut kotoran tersebut sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah.
Akan tetapi, dari pihak keraton tidak menyatakan jika kotoran Kerbau bisa mendatangkan berkah, akan tetapi apabila digunakan untuk menyuburkan tanaman bisa diterima oleh akal. Hal demikian sesuai dalam Situs Web Kepustakaan Keraton Nusantara,


“Keraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. ”Kalau tlethong dianggap menyuburkan sawah karena dapat dibuat pupuk, itu masih diterima akal. Namun kami memahami ini sebagai cara masyarakat menciptakan media untuk membuat permohonan. Mereka sekadar membutuhkan semangat  untuk bangkit.” (dikutip dari keraton.perpusnas.go.id)


Kerbau Kiai Slamet yang dikeramatkan oleh pihak keraton ber-jenis Kerbau Albino yang memiliki corak kulit berwarna putih dengan bintik kemerah-merahan. Konon, Kerbau bule tersebut merupakan sebuah pemberian Bupati Ponorogo. Kerbau Bule sangat dikeramatkan dan menjadi salah satu pusaka paling penting di Keraton Surakarta. Ada sebuah kisah, nenek moyang Kerbau Bule merupakan binatang kesayangan paku bowono II. Konon, jika Paku Bowono II ingin mencari lahan baru untuk di jadikan keraton baru, ia mempercayakan pada Kerbau Bule Kiai Slamet atas pemberian  Bupati Ponorogo untuk mengeksekusi tempat yang cocok untuk ditempati.

Selain sebagai ritual, prosesi kirab juga digunakan untuk menyambut  datang-nya tahun baru Jawa. Kirab Kerbau bule di malam 1 sura merupakan bentuk penghormatan  atas karya  Sultan Agung Hanyokro Kusumo.  Bagi masyarakat Jawa,  malam 1 suro dalam penanggalan Jawa merupakan sebuah  malam sakral dan keramat.  

Bagi masyarakat Kota Solo, prosesi kirab merupakan momentum yang di nanti setiap tahunnya. Ritual tersebut merupakan simbol budaya. Masyarakat dari berbagai daerah di Surakarta-pun berdatangan hanya untuk menonton atau ngalap berkah dari sesi ritual kebo bule. Sebagian dari mereka percaya, dengan mengikuti kirab dapat memperoleh keselamatan hidup kedepannnya. 

Malam 1 Sura sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik perubahan tahun, namun juga mempunyai dimensi spiritual. Sebagian masyarakat Jawa yakin, bahwa perubahan tahun Jawa menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmos Jawa, terutama kehidupan masyarakat agraris. Peran Kerbau bule Kiai Slamet adalah simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Darinya kita bisa belajar kearifan lokal tanpa meninggalkan agama dan kepedulian sosial. Darinya pula kita bisa belajar ber-islam tanpa mengabaikan budaya lokal. []
                 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...