By. Muh.
Imam Sanusi Al Khanafi
Di Bulan Ramadhan,
seringkali kita mendengarkan penceramah-penceramah mencuplik teks berbunyi: “Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan ramadhan, maka Allah
akan mengharamkan jasadnya masuk neraka“. Atau bunyi teks
Arabnya:
ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ
ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ
Dengan semangat menggebu-gebu, tanpa menelusuri
kredibilitas suatu hadis, ada diantara penceramah dengan gaya meyakinkan
menjelaskan tentang kegembiraan suatu kaum tentang hadirnya bulan ramadhan.
Dengan keagungan dan keistimewaan syahru siyam, Allah telah menggaransi kepada umatnya
tentang keharaman masuk neraka, cukup dengan senang dengan datangnya bulan ini.
Pertanyaannya, teks
tersebut termasuk hadis atau bukan ? teks di atas cenderung mashur dikalangan
masyarakat, dan mayoritas masyarakat awam tidak mempermasalahkan keotentikan
hadisnya. Mereka meyakini, bulan ramadhan merupakan kebahagiaan yang luar biasa,
bulan ramadhan adalah bulan penuh ampunan, berkah, dan rahmat. Dengan hadirnya bulan
ini, umat muslim mendapatkan karunia nikmat dari Allah swt secara tak
terhingga. Konon, kesakralan bulan ramadhan membuat sahabat menangis kala bulan
suci tersebut telah berakhir.
Dalam dunia akademik,
tentunya kurang afdhal bila tidak mendapat perhatian. Hadis ini perlu
diklarifikasi kembali keafsahannya. Tujuannya bukan untuk mencela dan
berprasangka buruk, melainkan murni meneruskan thuras khazanah keilmuan
ulama’ terdahulu, guna untuk menentukan shahih, hasan, dhaifnya suatu hadis.
Ada beberapa cara
untuk menelusuri hadis di atas, apakah memang terdapat dalam kitab hadis
mu’tabarah, atau justru sebaliknya. Berdasarkan penelusuran dengan bantuan aplikasi CD Maktabah Syamilah, penulis
mengunakakan kata kunci pada lafadz “ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ “
untuk melacak bunyi teks tersebut keseluruh kitab hadis mu’tabarah. Ternyata,
dari hasil penelusuran yang diperoleh, tidak ada satupun kitab hadis yang meriwayatkan
bunyi teks di atas.
Hanya saja, hadis
tersebut ada dalam kitab durratun nasihin karya Utsman Ibn Hasan Ahmad
As-Syakir al-Khubawi (w. 1241 H). Pembahasan ini tercantum di bab fadhilah
bulan ramadhan. Sayangnya, keotentikan hadis yang tercantum didalamnya belum
jelas. Pertama, hadis tersebut
tidak mencantumkan sanad. Kedua, Kitab tersebut bukan berupa kitab hadis.
Ketiga, Syekh Utsman al-Khubawi lebih dikenal sebagai tokoh penghikayat- bukan
sebagai ahli hadis (lihat: Syekh Utsman al-Khubawi: 7).
Dengan melihat hadis
di atas, tampaknya kita bisa menduga apabila hadis ini tergolong dari hadis
maudhu’. Karena ada beberapa unsur yang harus terpenuhi dalam hadis Nabi, yakni
sanad, periwayat, dan matan. Sedangkan, dalam teks (hadis) di atas tidak mencantumkan
salah satu unsur tersebut, yakni sanad.
Dalam penelitian hadis, adanya sanad sangat mempengaruhi keotentikan
hadis. Walaupun adanya berita yang disandarkan kepada Nabi, namun tidak
memiliki sanad sama saja dianggap bukan sebagai hadis.
“ Sanad merupakan sebagian
dari Agama, dan sanad pantas untuk disejajarkan dengan Agama. Semakin banyak
periwayat hadis yang meriwayatkan suatu hadis, maka semakin baik. Demikian juga
terhadap matan hadis. Matan merupakan inti dari hadis, seharusnya kriteria dari
matan sesuai dengan sabda Nabi, tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis
Mutawatir. Jadi, Obyek dalam menentukan penelitian kualitas suatu hadis ialah
dengan sanad dan Matan (M. Syuhudi Isma’il: 1993).”
Jika dilihat dalam
versi Imam Nawawi, kualitas sanad bisa menentukan maqbul dan mardud-nya suatu
hadis. Hubungan antara hadis dan sanad ibarat hubungan antara hewan dan
kakinya. Sehingga bila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis
tersebut dapat diterima. Sebaliknya, bila kualias sanad hadis tidak shahih,
maka hadis tersebut tidak dapat diterima. Jika ditinjau dari pernyataan Imam
Nawawi, tampaknya hadis di atas belum bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kata
lain, keshahihannya belum bisa dijadikan sebagi pijakan. Mengingat, sanadnya masih
menimbulkan kontroversi. Belum ada di kitab hadis mu’tabarah yang menjelaskan
tentang hadis di atas, baik dalam periwayatan bil lafdzi maupun maknawi.
“ Sesungguhnya, dari
kacamata ilmu hadis, untuk menilai sebuah hadis shahih atau tidak, sudah cukup
dengan meneliti sanad atau matannya saja (Mustafa Ali Ya’qub:2003).”
Apabila dilihat dari
segi sanad tentunya sudah selesai. Namun, kita jangan terburu-buru
menjustifikasi hadis ini palsu. Jika ditinjau dari matan, nampaknya hadis ini
memang bertentangan dengan akal sehat. Dengan begitu mudahnya Allah memberikan
kemurahan tentang keharaman jasad manusia ke dalam api neraka. Bila
dianalogikan, banyak umat manusia senang akan datangnya bulan ramadhan, mereka
memanfatkan bulan ini untuk mencari nafkah. Misal: banyak para pedagang baju,
kaki lima, parsel, sayuran dll sebagainya yang memanfaatkan situasi ini untuk
mengais keuntungan besar-besaran. Tentunya mereka senang di bulan ini.
Pertanyaannya, bila dikaitkan dengan hadis di atas, apakah dengan kesenangan
saja tanpa diimbangi semangat meningkatkan kualitas ibadah dalam mendekatkan
diri kepada Allah bisa mengantarkan kita jauh dari Neraka ? Dengan mudahnya
cukup dengan senang bisa menjauhkan dari api neraka. Padahal, dalam firman-Nya,
ada beberapa simbol ayat yang harus dipahami, yakni :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ada beberapa kata kunci yang perlu
kita pahami dengan hadirnya bulan puasa. Pertama, ayat di atas merupakan ajakan
bagi orang yang memiliki iman, walaupun seberat apapun. Kedua, ajakan berpuasa
dalam rangka meningkatkan kualitas taqwa, agar terhindar dari sanksi dampak
buruk, baik dari segi duniawi maupun ukhrawi.
Hal ini mengisyaratkan kepada kita,
bila kesenangan di bulan ramadhan tidak cukup dalam meningkatkan kualitas
ibadah tanpa diimbangi dengan iman dan taqwa. Seharusnya, di bulan ramadhan
difungsikan sebagai sarana muhasabah
atas dosa-dosa di dunia, dan dimanfaatkan untuk menebus perkara-perkara buruk
selama kita hidup, demi mendapatkan
rahmat dan hidayah dari-Nya. Supaya dalam menjalankan hidup senantiasa
terarah, demi mewujudkan keselamatan dunia untuk menuju akhirat.
Dalam memahami teks (hadis) di
atas, walaupun validitasnya masih diragukan keshahihannya, kita bisa memanfaatkan
ke hal yang positif. Dalam artian, jangan memaknai teks di atas secara lafdziyah
(tekstual). Alangkah baiknya, sebagai umat muslim senantiasa berkusnudzon bila
teks di atas mengisyaratkan untuk memanfaatkan momen ini dengan kualitas
keimanan dan ketaqwaan. Seharusnya, kita patut berbangga dengan hadirnya bulan
ramadhan. Dengan hadirnya bulan ini, allah memberikan kemurahan secara
besar-besaran untuk menebus kesalahan atas kelakuan hidup semasa di dunia.
Dengan kesungguhan dan kemantapan hati untuk memperoleh ridha-Nya, tidak
mungkin Allah menganulir janji-janji-Nya. Justru Allah akan memberikan imbalan
yang setimpal atas usaha hamba-Nya dalam meningkatkan kualitas ibadah di bulan
Ramadhan.
Komentar
Posting Komentar