By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Tradisi yang hingga kini masih mengakar kuat dalam dunia pesantren ialah ro’an. Dalam bahasa pesantren, kata ro’an sendiri merupakan penggalan kata dari bahasa arab “tabarukan atau ngalap berkah”. Karena lahjah (gaya bahasa) Jawa yang sudah membumi, maka kata “rukan” berubah menjadi “ro’an”. Di pesantren sendiri, santri sangat melekat dengan adanya berkah. Mereka meyakini dengan segenap jiwa dan raga apabila berkah senantiasa membawa ketenangan dan ketentraman hidup, baik di dunia hingga di akhirat nanti. Berkali-kali kiai mengingatkan kepada santri, berkah itu tidak mengenal kaya dan miskin. Walaupun sederhana, Apabila hidupnya diselimuti keberkahan, maka Allah senantiasa memberikan kemudahan disaat kesulitan. Sebaliknya, meskipun kaya tapi hidupnya tidak penuh berkah, maka hidupnya senantiasa tidak tenang dan kurang puas.
Aktivitas ro’an merupakan salah satu wasilah untuk mendapatkan keberkahan. Biasanya, kegiatan ini dilaksanakan pada waktu libur. Ro’an dilakukan pada pagi hari ba’da shubuh hingga menjelang siang. Lingkungan yang dieksekusi mulai dari halaman rumah kiai, lingkungan pesantren, dan asrama kamar masing-masing. Aktivitas ini hukumnya wajib bagi santri, barangsiapa yang melanggar aturan, maka hukuman akan berlaku.
Aktivitas ro’an memberikan dampak positif bagi pendidikan santri, diantaranya “ngolah Jiwo”. Penulis masih teringat dengan dawuh kiai, “bersih-bersih harus diniati untuk membersihkan jiwa.” Pendidikan demikian tentunya tidak mudah bila tidak ditanamkan kesadaran dan kepekaan sosial dalam dirinya. Penulis ambil contoh, membersihkan saptic tank dan selokan. Santri yang berkecimpung dalam arena ini memang harus membutuhkan ketulusan dan niat ikhlas. Sebab, bila tidak diimbangi dengan kesadaran diri tentunya enggan mau terjun di tempat yang menjijikkan tersebut.
Terkadang, sifat gengsi dan jijik membuat aktivitas ro’an menjadi tersendat. Dengan aturan yang super ketat, diantara solusi yang tepat untuk memaksa santri berlatih peka terhadap lingkungan. Kesadaran bukan berarti harus ditunggu dan dibiarkan begitu saja. Kesadaran harus digali, serta ditabrakkan dengan kondisi dan situasi yang ada. Peraturan merupakan wasilah yang digunakan pesantren untuk menumbuhkan kesadaran diri. Sesungguhya, dibalik peraturan itu terkandung makna yang mendalam bila santri mau menggali dan menafsirkannya.
Ro’an bukan berarti dimanfaatkan tenaganya secara cuma-cuma oleh pesantren. Bila kita dalami dan rasakan, kegiatan ini merupakan sarana latihan untuk mengekang hawa nafsu pada diri manusia. Ketahuilah, manusia memiliki nafsu dan tabi’atnya. Apabila nafsu tidak dilawan, lambat laun akan mengikat dan mengajak diri kita ke dalam kerusakan. Semakin kita mengikuti arahannya tanpa memperhitungkannya, maka kita pasti terjerumus ke dalam lubang kesesatan. Sehingga, kegiatan ro’an tidak bisa diamalkan dengan baik, karena tabi’at buruk sudah menyelimuti dirinya.
Manusia berbeda dengan malaikat, hewan, dan tumbuhan. Meminjam bahasanya Fahruddin ar-Razi, malaikat hanya memiliki akal dan hikmah. Sedangkan tumbuhan dan hewan hanya memiliki nafsu dan tabi’at. Berbeda dengan manusia, semua karakteristik yang dimiliki malaikat, tumbuhan, dan hewan dimiliki olehnya. Betapa tidak, manusia apabila banyak melakukan kesalahan maupun kekurangan, pasti karakteristik yang dimiliki tumbuhan dan hewan akan muncul. Sebaliknya, bila kesadaran untuk melakukan amal kebaikan, maka karakteristik malaikat akan senantiasa menyelimutinya.
Dalam tradisi pesantren, ro’an merupakan diantara thariqah (jalan) untuk menjadi makhluk pilihan Allah (dekat dengan-Nya). Sebagai makhluk-Nya, kita hanya berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi orang yang mulia dimata-Nya. Biasanya, jalan (proses) untuk mendekatkan diri kepada-Nya tidak semudah yang kita bayangkan. Langkah awal yang harus dilakukan ialah dengan membersihkan kotoran dalam diri kita. Terkadang, kita belum menyadari bila jiwa masih terselimuti kotoran. Anehnya, merasa dirinya bersih dan tidak perlu untuk dibersihkan. Karena ia belum tahu pantulan cahaya hati yang sesungguhnya. Sehingga, akibat bathinnya sudah gelap, perkara yang seharusnya dianggap jelek dianggap baik.
Aktivitas ro’an seharusnya gampang tapi sulit diimplementasikan, disebabkan jiwanya masih gelap. Tekadang, jiwa yang sudah gelap menujukkan kecanggihan akal. Sehingga perkataan yang dilakukannya tidak sesuai dengan amalnya. Perlu diketahui, yang namanya hati itu tidak bisa dibohongi, walaupun argumen akal yang diungkapkan merasa benar. Kecuali, bila jiwa sudah berkerak akibat terkumpulnya perilaku buruk. Nah, ro’an inilah salah satu cara untuk menaklukkan hati yan kotor. Ini sulit diterapkan, tapi harus diupayakan.
Akivitas ro’an bisa dibilang perang nafsu. Jangan sampai kita diperdayai oleh ego, justru kitalah yang seharusnya menaklukan ego. Mengambil sampah digot diantara cara untuk melawan ego. Jiwa yang bersih, sejatinya telah menikmati aktivitas yang dilakukannya dengan sesungguhnya. Kegiatan yang dilakukan terasa nyaman dan menyenangkan. Di momen ini, jiwa yang sudah dibersihkan seharusnya kita jadikan alat untuk mengendalikan diri. Sedangkan akal dijadikan sebagai alat pendukung. Maka, aktivitas tersebut akan senantiasa bermanfaat, tanpa adanya unsur kegelisahan.
Tidak jarang bila santri yang mengabdikan diri secara khidmat dan totalitas bergelut dalam bidang demikian pada akhirnya kala terjun di masyarakat bisa bermanfaat. Tentunya, santri demikian ikhlas menyerahkan segenap jiwa dan raga secara suka rela membersihkan tempat yang jarang dijamah orang itu. Darinya, kita bisa belajar bagaimana cara menundukkan nafsu. Terkadang, cara melawan dan menaklukkan sifat ego dalam diri kita juga bisa melalui aturan, bahkan bisa berupa paksaan. Wallahu a’lam bi ash-shawab
Mantab sekali Pak, baru tahu asal usul kata ro'an dari tabarukan. Terima kasih.
BalasHapusSangat bermanfaat.
BalasHapusTerimakasih untuk wawasannya.
Di ponpes depan rumah juga masih ada kegiatan roan. Tulisan yang bagus
BalasHapusBersih-bersih secara dhahir dengan tujuan akhir penyucian jiwa. Tulisan yang mantab.
BalasHapus