Langsung ke konten utama

Edisi Ramadhan (2): Tata Krama Murid kepada Guru dalam Kitab Jawahirul Adab

 

Oleh. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi

Di sesi ramadhan selanjutnya, saya meneruskan kajian kitab Jawahirul Adab. Kajian ini sudah masuk ke isi tentang tata cara menanamkan pendidikan karakter kepada murid. Perlu diketahui, pendidikan karakter pada dasarnya telah diajarkan oleh nabi, yakni dengan bil irsyad, bi at tatbiq, dan bi at tashih . Bil irsyad , nabi memberikan kajian lisan kepada sahabat berupa pengarahan. Misal: nabi memberikan pengarahan atau teori tata cara pemanfaatan sedekah agar lebih mengutamakan sedekah kepada keluarganya atau kerabatnya terlebih dahulu. Bi at tatbiq , nabi menjelaskan secara aplikatif melalui peragaan. Misal: Nabi mencontohkan tata cara sholat kepada sahabat selain memberikan pengarahan kepada mereka. Bi at tashih, nabi memberikan koreksi kesalahan dalam memahami tarbiyah yang dilakukan nabi kepada sahabat. Misal: Informasi tentang kebolehan seseorang untuk makan dan minum di malam bulan Ramadhan, hingga munculnya fajar waktu subuh. Namun sahabat masih gagal paham terkait penjelasan nabi.

Tarbiyah yang dilakukan nabi ini perlu diimplementasikan kepada generasi sekarang. Tentunya pendidikan karakter ini bisa diawali dengan hal-hal yang mendasar. Seperti penjelasan kyai Nawawi dalam bait ke enam, ketika murid bertemu dengan seorang guru seyogyanya menyapanya dengan uluk salam. Guru juga perlu membiyasakannya untuk memberikan contoh kepada muridnya. Uluk salam ketika bertemu tidak hanya diaplikasikan kepada murid dan guru, melainkan kepada orang tua, dan sesama manusia. Supaya budaya saling menebar kebaikan bisa mengakar kuat.

Masih dalam bait ke enam, murid perlu membiyasakan diri untuk membahagiakan guru. Jangan sampai melukai hati gurunya. Hal ini juga dijelaskan dalam kitab ta’lim muta’alim (Jarnuji: t.t: 20),

فمن تأذى منه أستاذه يحرم بركة العلم ولا ينتفع بالعلم إلا قليلا

“Barangsiapa melukai hati gurunya, maka tertutuplah keberkahan ilmunya dan hanya sedikit manfaat ilmu yang dapat dipetiknya.”

Membahagiakan guru tidak harus berbentuk material. Membiasakan diri untuk bertingkah laku baik kepada guru, orang tua, dan sesama manusia sudah mampu menyenangkan hati gurunya. Tentunya terus berproses untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sekitarnya.

Dalam bait ke tujuh, apabila bertemu dengan gurunya alangkah baiknya menundukkan kepala. Maksudnya, pendidikan ini mengarahkan murid agar melatih diri untuk bersikap rendah diri. Tidak menyombongkan diri kepada gurunya. Jangan seolah-olah murid merasa lebih pintar kepada gurunya. Hal ini bisa menyebabkan kecerdasan emosional tidak berfungsi. Tentunya bisa mempersulit dirinya untuk mendapatkan ridha gurunya. Era sekarang sudah jarang sekali menerapkan hal seperti ini. Dikarenakan guru lebih memfokuskan kepada transfer of knowledge. Pendidikan karakter mulai sirna di lingkungan sekolah formal.

Bait ke delapan dan sembilan dijelaskan, seharusnya murid tidak memalingkan fikirannya ke yang lainnya ketika guru menjelaskan materi. Murid setidaknya fokus tehadap materi yang dijelaskan. Jangan sampai bergurau kepada sesama temannya. Hal ini juga melatih diri untuk saling menghargai. Walaupun kajian yang diulas pernah didengar atau membosankan. Kalau dalam bahasanya kyai Nawawi hukumnya wajib mendengarkan penjelasan guru. Apabila murid mendapatkan kesulitan dalam pemahaman yang diterangkaan oleh gurunya, seyogyanya masalah itu bisa dikonsultasikan kepada guru. Jangan sampai malu dan tidak mau untuk bertanya. Barangkali pemahaman itu bisa diperoleh dengan bimbingan guru melalui berbagai proses. Seperti muthalaah pelajaran yang sudah dikaji oleh gurunya, memberikan hidayah fatihah kepada gurunya, berdiskusi, dan berdoa kepada Allah. Insya allah proses ini akan mendapatkan hasilnya. Kuncinya ialah yakin, semangat, dan istiqamah.

Kebiasaan mendasar tata krama antara murid dan guru perlu dilatih. Dengan kebiasaan yang mendasar bisa meningkatkan dan memperkuat adab dan akhlaknya. Menjadi lebih baik tidak harus dimulai dengan yang sulit, melainkan diawali dengan hal-hal yang mudah. Mengawali hal yang mudah tentunya butuh ketelatenan dan konsistensi. Wallahu a’lam bi ash shawab

 

 


Komentar

  1. Adab dan akhlak merupakan hal utama dalam menuntut ilmu. Terimakasih ilmunya. Sangat bermanfaat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...