By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Di era millenial, kita sering kali dihadapkan dengan realita seorang السالك (pencari ilmu) yang terlalu mendewakan akal. Sehingga segala petuah yang diajarkan oleh guru dikritisi. Bahkan tidak jarang, bila pendidikan yang diajarkan oleh guru terkadang cenderung diremehkan. Akibat tidak mau menerima argumen ang dipaparkan oleh seorang guru. Dan menganggap, pendapatnnya lebih benar, sedangkan pendapa dari gurunya terkesan diremehkan karena keilmuan gurunya dianggap biasa-biasa saja.
Nalar berfikir kritis ini memang berbahaya. Bila tidak diimbangi dengan kode etik (Akhlakul karimah), maka petuah yang diajarkan oleh guru akan mudah ditolak. Dan menanganggap ia lebih pintar daripada guunya. Dalam tradisi pesantren, boleh kita memiliki nalar kritis kepada guru. Senyampang, kita mampu menyeimbangkan antara tata krama dengan berikir kritisnya. Seorang Salik seharusnya paham tentang prosedur mencari ilmu. Terkadang, prosedur dalam menimba ilmu ini ditiadakan, dilupakan, dan cenderung kurang diterapkan. Penulis kira akibat dari minimnya pendidikan bersis ala pesantren, dan cenderung mengambil model pemikiran barat tanpa adanya penyaringan secara baik.
Aturan proses menimba ilmu perlu didengungkan lagi. Mengingat, maraknya pemikiran salik yang cenderung menerjang dan menabrak aturan yang ditetapkan oleh ulama' salafus shalih. Bila aturan ini tidak diterapkan lagi, benih-benih kerusakan moral akan semakin marak dilingkungan pencari ilmu. dalam kajian kitab kifayatul atqiya' karangan syekh Sayyid Bakri al-Makki ad-Dimyathi, ada beberapa prosedur aturan yang harus ditekankan Salik dalam proses menempuh ilmu. Pada halaman 83 bab adab muta'alim dijelaskan,
Pertama, seorang salik bila menerima petuah atau pengajaran dari guru alangkah baiknya jangan tergesa-gesa dijustifikasi (dihakimi salah), dan cenderung diabaikan, mengingat dawuh yang disampaikan oleh guru tidak berbobot atau cenderung monoton. Hal ini tidak dibenarkan, langkah baik yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur syekh Bakri dengan mengutamakan tatakrama, dengan menerima dan mencerna segala dawuh yang disampaikan olehnya. Hal ini sesuai dengan dawuh kiai nadhim,
وَجهْ كلامَ القوم غير مخطئ
Kedua, seorang salik seharusnya mengagungkan atau memulyakan seorang guru. Jangan menganggap remeh, dan seakan-akan setara dengan tingkatan kita. Segala petuah yang disampaikan oleh seorang guru seyogyanya tidak diperdebatkan (dibantah). Diterima dulu, kemudian diambil pendapat yang paling baik, tanpa menyakiti hati seorang guru. Dawuh seorang guru tidak mungkin membimbing kita ke arah kemungkaran dan menjerumuskan ke dalam lubang kesesatan. Niat seorang guru ialah lillah, murni untuk meneruskan ajaran yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw. Hal ini sesuai yg dikatakan kiai nadhim,
ومعلماً و قِرْولست مجادلا
Ulama terdahulu memberikan aturan demikian tidak lain untuk menuntun seorang salik supaya mendapatkan keberkahan dan kemanfaatan ilmu. Ulama terdahulu sudah memberikan contoh tentang pengagungannya terhadap guru. Misal, hubungan antara Imam Syafi'i dengan gurunya Imam Maliki. Imam Syafi'i tetap memuliakan gurunya, walaupun pendapat keduanya terkadang ada perbedaan.
Ta'dhiman wa kiraman kepada guru sangatlah penting. Sebab, membangkang dan meremehkan segala dawuh yang diberikan olehnya akan berakibat pada gelapnya hati (atau dalam terminologi Jawa disebut petenge ati). Hati yang gelap tentu berakibat pada kerasnya hati. Bila antara gelap dan keras bersatu, sesungguhnya akan mengantarkan ke jalan kegelapan, yakni su'ul khatimah (kehidupan yang suram). Memuliakan guru merupakan bentuk dari memuliakan ilmu. Sehingga, seorang salik (pencari ilmu) tidak akan mendapatkan ilmu tanpa menghargai petuah penyebar ilmu (seorang guru).
Jangan sekali-kali berprasangka buruk kepada seorang guru, berbuat ghibah kepada guru, dan menjustifikasi bila keilmuan seorang salik lebih unggul dan tinggi dari gurunya. Hal ini akan memicu ke rusaknya hati. Bila hati sudah gelap, maka pendapat yang sekiranya salah menjadi benar. Syekh Bakri dalam kitabnya memberikan semacam arahan kepada salik untuk senantiasa menutupi aib seorang guru bila terdapat kesalahan. Guru bukan malaikat, dan juga bukan Nabi. Seyogyanya, untuk mendapatkan keberkahan ilmu alangkah baiknya selalu mendoakan,
اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّي وَلَا تُذْهِبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّي
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/97526/doa-agar-terhindar-dari-mengetahui-aib-guru
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/97526/doa-agar-terhindar-dari-mengetahui-aib-guru
اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّي وَلَا تُذْهِبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّي
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/97526/doa-agar-terhindar-dari-mengetahui-aib-guru
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/97526/doa-agar-terhindar-dari-mengetahui-aib-guru
اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّي
وَلَا تُذْهِبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّي
“Ya Allah, tutupilah
aib guruku dariku, dan jangan Engkau hilangkan berkah ilmunya dariku.”
“Ya Allah, tutupilah aib guruku dariku, dan jangan Engkau hilangkan berkah ilmunya dariku.”
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/97526/doa-agar-terhindar-dari-mengetahui-aib-guru
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/97526/doa-agar-terhindar-dari-mengetahui-aib-guru
Tradisi Islam begitu menekankan tentang pentingnya ta'dhiman wa kiraman kepada seorang guru. Dalam Islam, patokan ilmu bukan pada kecerdasan intelektual, tapi juga memiliki kecerdasan emosional, dan spiritual. Semoga kita tergolong menjadi orang yang muttaqin dan taat kepada guru-guru, dan dengan wasilah taat kepada guru juga kita senantiasa diberi keberkahan hidup. Wallahu a'lam bi as-Shawab.
Blitar, 20 September 2020. Pada pengajian kitab kifayatul atqiya' di Ponpes Terpadu al-Kamal.
Komentar
Posting Komentar