Langsung ke konten utama

LALARAN SYI’IR, TRADISI, DAN AKSI

 


By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi

 

Sehubungan dengan agenda peringatan hari besar Islam dan nasional (PHBIN), pondok pesantren terpadu al-Kamal Blitar menghdirkan festival lomba. Setiap Asrama (firqah) digilir mengadakan perlombaan tersebut. Diantara firqah yang sudah menggelar perlombaan PHBIN ialah firqah HM(Hidayati Mahmud). Perlombaan pertama dibuka dengan gebyar lomba lalaran Syi’ir. Peserta yang mengikuti perlombaan ini seluruh santri putri yang bermukim di firqah HM. Peserta lomba yang mengikuti mayoritas dari tingkatan Madrasah Aliyah dan Smk. Panitia membagi tim regu peserta menjadi lima kelompok. Pemilihan kelompok dibagi secara acak dengan cara di kopyok. Hal ini sesuai pernyataan Dwi Aulia selaku penanggung jawab perlombaan ini.

 

“ Peserta yang mengikuti perlombaan kebanyakan kelas 1, 2, dan 3 Aliyah dan Smk. Peserta yang mengikuti lomba ini dibagi menjadi 5 kelompok, yang sudah dibentuk dengan cara dikocok oleh kawan-kawan panitia.Tujuannya untuk meramaikan persaingan, sekaligus berlomba-lomba dalam hal kebaikan.”

 

Lalaran syi’ir yang diperlombakan mulai dari nadham kitab imrithi, alfiyah, dan tasrifan dalam amsilatu at-tasrifiyah. Agenda ini sudah dilakukan bertahun-tahun di pesantren. Hanya saja seiring perkembangan zaman, berbagai seni yang meramaikan dan mengiringi lalaran semakin beraneka ragam. Dalam tradisi pesantren, lalaran merupakan mengulang-ulang nadham dengan menggunakan irama lagu. Biasanya, dalam festival perlombaan santri melagukan nadham dengan cara dikombinasikan dengan alat musik, agar menarik perhatian penonton untuk menyukai festival ini. Kata lalaran sendiri bila dilihat dalam terminologi Jawa bisa dikatakan tembang atau “uro-uro” yang artinya ialah perkataan keras. Bila ditelisik dari segi historis, penyebar Islam di Nusantara sesungguhnya sudah menerapkan metode tembang ini, diantara wali yang eksis menerapkan metode ini ialah sunan Kalijaga, yang mashur dengan tembang dolanannya, yaitu lagu lir-ilir. Kala itu, warga melagukan tembang ini dengan suara keras. Sehingga masyarakat Jawa lebih mengenal “uro-uro”.

 

Seiring perkembangan zaman, lalaran syi’ir selalu mengalami perubahan. Di era sekarang, santri lebih kreatif dalam melagukan nadham bait syi’ir.  Hal ini terlihat dari kreasi santri dalam festival lomba PHBIN.  Mereka menggunakan variasi model irama lagu era kekinian, kemudian dikombinasikan dengan aneka alat musik ala kadarnya. Misal: syi’ir dengan irama musik dangdut atau koplo dengan alunan gendangan timba, gallon, piring, sendok, gayung, botol kaca, dll. Kreativitas tanpa batas inilah menurut hemat penulis perlu dibudidayakan dan dilestarikan. Penulis kira, kualitas alat musik yang dihidangkan tidak kalah dengan alat musik asli. Paduan suara yang merdu dan serasi beserta alunan alat musik ala kadarnya yang kompak membuat penonton bersorak, sehingga menggemparkan jagad penonton saat itu.

 

Tidak ada salahnya bila perubahan zaman ini mampu mendonstruksi ciri khas irama syi’ir yang cenderung tradisional. Hal ini sesuai dengan kaidah yang mashur dikalangan pesanren, al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, (tetap mempertahankan tradisi klasik yang baik, dan juga mengambil tradisi modern yang lebih baik). Dalam konteks ini, tradisi klasik yang dimaksud ialah mempertahankan ajaran lalaran syi’ir sebagai metode pembelajaran santri, tapi juga mengambil tradisi modern yang baik dengan mengkolaborasikannya sekiranya mampu menumbuhkan kualitas santri dalam meningkatkan hafalan dan pemahaman, seperti muqadimah bait nadham terakhir imrithi,”wa ayyakuna nafi’an bi ilmihi manightana bi hifdzihi wa fahmihi,” (Dan semoga member kemanfaatan ilmu yang ada pada nadhami ini kepada setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam menghafalkan dan memahaminya). Dalam kata lain, dengan aneka ragam irama lagu demi memperkuat hafalan dan pemahaman santri kenapa harus dihindari, seharusnya diambil yang baik, dan dibuang yang buruk-buruk saja.

 

Perubahan ini hanyalah sebagai terobosan baru untuk menumbuhkan semangat santri untuk belajar dan berkreasi. Adapun lalaran sendiri merupakan metode efektif untuk mempermudah meningkatkan kualitas hafalan. Dengan irama yang disenangi dan diracik sendiri sesuai request yang diminatinya, mampu merespon aspek ingatan yang sebelumnya sulit dihafalkan. Terkadang, santri dihidangkan metode hafalan monoton cenderung kurang semangat. Akibat jenuh, proses menimba ilmu menjadi menurun. Sehingga kualitas santri dalam mengkaji bidang keilmuan menjadi tersendat.

 

Festival lomba lalaran syi’ir berdampak positif bagi santri. Mengingat tahun-tahun ini kualitas hafalan kurang begitu maksimal. Sehingga berdampak pada pemahaman pelajaran, khususnya pelajaran madrasah diniyah. Dampak yang paling parah terhadap penurunan hafalan santri ialah faktor internal (diri sendiri). Sebelum banting-tulang, mereka sudah pasrah dengan materi yang dipelajarinya. Dengan adanya festival ini, ternyata berimbas terhadap mata pelajaran madrasah diniyah. Pernyataan demikian juga dilontarkan oleh Dwi Aulia selaku penanggung jawab lomba,

 

“Lomba lalaran syi’ir mampu menumbuhkan kecintaan mereka pada pelajaran ilmu alat (nahwu-sharaf). Selain itu juga memudahkan santri memahami pelajaran dengan metode hafalan yang dirangkainya dengan beragam irama lagu.”

 

Pernyataan Dwi Aulia ini ternyata selaras dengan tanggapan santri bila lalaran syi’ir berbasis aneka ragam irama lagu bisa menumbuhkan semangat dalam memahami pelajaran madrasah diniyah, khususnya terkait teks yang didalamnya berupa syi’iran nadham. Hal ini terlihat di setiap penjuru kelas-kelas madrasah diniyah, lantunan mars berupa syi’ir berdendang dengan kompak, merdu dan semangat. Menandakan santri sedang ber-muthala’ah (mengulang-ulang mata pelajaran), dan bersiap-siap menerima pelajaran dari seorang guru.

 

Ada dua fakor yang menjadikan semangat santri meningkat hafalan. Pertama, faktor internal (muncul pada diri sendiri). Santri bila termotivasi dengan hidangan aneka model pembelajaran yang unik dan menarik perhatian, tentunya akan meningkatkan kemampuan mereka dalam memahami pelajaran. Kedua, faktor eksternal (lingkungan). Keadaan lingkungan yang memadai dan mendukung, serta mampu memberikan wadah minat dan bakat santri sesuai perkembangan, kualitas santri meningkatkan mutu hafalan akan semakin kuat dan baik.

 

Lalaran syi’ir memotivasi santri untuk meningkatkan hafalan dan pemahaman. Agenda ini sebagai wadah untuk meningkatkan minat santri dalam ta’lim wa ta’alum dengan metode yang dihidangkan. Selain berkreasi, santri juga bisa memanfatkannya untuk mengulang-ulang pelajaran. Bila tidak di muthalaah, penyakit lupa akan semakin menggerogoti ilmu yang didapatkan. Wallahu a’lam bi ash-shawab

 





 

Komentar

  1. Cerita ini membawa kenangan lama, teringat saat dulu masih ada di pesantren juga sering kali ikut serta dalam festival lalaran

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...