By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Minggu ini, pondok pesantren terpadu al-Kamal memperingati wafatnya Kh. Thohir Wijaya ke 23. Beliau merupakan pejuang generasi kedua pasca al-maghfurlah Kh. Manshur. Acara ini diadakan sederhana dengan mengundang beberapa masyarakat sekitar desa Kunir dan semua guru madrasah diniah al-Kamal. Mengingat musim pandemi masih belum bisa diprediksi kapan berakhirnya.
Pembukaan tahlil dipimpin oleh ustadz thahib selaku guru madin dan tokoh Agama masyarakat. Dengan khidmah, para tamu mengikuti alunan bacaan kalimat tahlil yang di pandu oleh beliau. Pasca tahlil, pembacaan manaqib Kh. Thohir wijaya dilaksanakan. Kh. Asmawi Mahfudz selaku pengasuh membacakan sejarah perjuangan kh. Kh. Thohir wijaya. berdasarkan pemaparan yang diungkapkan oleh pengasuh, kh. Thohir merupakan penggebrak dakwah di Desa Kunir hingga ke pemerintahan pasca wafatnya KH. Manshur. Di Pesantren, beliau telah membangun pondasi yang kokoh. Hingga kini, pondasi tersebut sudah diturunkan ke generasi IV, yakni masa kepengasuhan Dr. Kh. Asmawi Mahfudz dan KH. Ahmad Hasanudin.
Pasca meninggalnya generasi pertama, KH. Thohir telah membentuk sebuah organisasi yayasan sebagai pengembangan pesantren. Dengan berdirinya sebuah lembaga yang dulunya masih bernama “’pondok pesantren kunir”. Kini berubah menjadi pondok pesantren al-Kamal yang resmi menjadi sebuah lembaga pendidikan pesantren yang memperjuangkan dunia pendidikan Agama Islam. Sejak saat itu, santri dari penjuru tanah air mulai mondok di pesantren ini. Perubahan nama dari pondok kunir ke pondok al-kamal merupakan hasil dari istikharah beliau. Selain perbuahan nama, beliau juga mengubah sistem pendidikan salafiyah (tradisi klasik) murni menjadi khalafiyah, yakni mengkombinasikan antara tradisi klasik (salafi) dengan tradisi modern (khalafi). Jargon yang hingga kini dikenang oleh santri-santrinya ialah “al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, (tetap mempertahankan tradisi klasik yang baik, dan juga mengambil tradisi modern yang lebih baik).
Pondasi kokoh yang dibangunnya bukan perkara yang gampang. Pesantren yang berkembang pesat tidak luput dari hasil perjuangan dan riyadhah pendiri. Membangun pesantren memang tidak mudah seperti yang kita bayangkan. Mendirikan pesantren lebih sulit dari pada meneruskan perjuangan. Maka tidak heran, bila santrinya semakin hari bertambah banyak dari berbagai provinsi, ini tidak lepas dari perjuangannya yang membangun pondasi awal yang kokoh.
Kh. Thohir sejak kecil memang suka riyadhah. Semangat menimba ilmu juga melekat dalam dirinya kala masa mudanya bermusafir ke beberapa pesantren. Tujuannya tidak lain hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat. Pesantren yang sudah dijejaki diantaranya pesantren tebu ireng, rejoso jombang, termas, dan lirboyo. Dengan kesungguhan dan ketekunannya, kini kh. Thohir Wijaya memetik hasilnya.
Gelar Wijaya sendiri merupakan pemberian dari al-Maghfurlah romo yai Abdul Karim. Semenjak di pesantren Lirboyo, KH. Thohir memang sudah menjadi santri yang menonjol. Diantara aksi beliau di pesantren ialah menangani masalah pangan. Kala itu, ponpes Lirboyo sedang dijajah oleh Jepang. Dengan politik diplomasi yang dirancang oleh KH. Thohir, penjajah tidak sampai menghabisi sandang pangan di pesantren. Al-Hasil, pondok Lirboyo aman dari krisis pangan.
KH. Thohir memang diberikan semacam job khusus oleh KH. Abdul Karim untuk menumpas para penjajah Jepang. Supaya harkat dan martabat pesantren tetap terjaga dari noda kotor penjajah. Gelar Wijaya sendiri disandangkan untuknya supaya tambah keren. Al-Kisah, KH. Maimun Zubair pernah menemui perjuangan beliau di ponpes Lirboyo. Selain menonjol, beliau juga mendapat gelar kiai muda. Hal ini merupakan sebuah taktik yang dirancang oleh Yai Abdul Karim untuk mengelabuhi penjajah Jepang.
Aksi perjuangan beliau tidak hanya dalam ruang lingkup pesantren. Semenjak beliau didapuk menjadi anggota DPR/MPR RI pada masa orde lama kepemimpinan Soeharto, beliau melebarkan sayapnya menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam bersama para kabinet pembangnan untuk membuat cabang pondok pesantren Terpadu al-Kamal di Jakarta. Akhirnya, mimpi yang digadang-gadangkan terwujud. Tidak hanya itu, beliau juga bisa mempengaruhi Presiden Soeharto untuk membangun masjid ke titik penting seluruh Indonesia. Hingga kini masjid tersebut sudah terealisir dan berdiri kokoh di setiap titik daerah di Indonesia. Beliau memang memiliki tekad yang kuat, dan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Beliau berseberangan dengan tokoh agama yang lain terhadap golongan yang diikutinya bukan berarti bermusuhan, akan tetapi dalam rangka untuk menemukan kebenaran yang diyakininya. Hal ini sesuai yang dikatakan Kiai Asmawi,
“Kiai Thohir berani menentang arus demi kebenaran yang diyakininya. Ini terbukti ketika beliau harus masuk ke partai golongan karya demi transformasi ide-ide perjuangan Islamnya melalui politik. Walaupun para koleganya, tokoh-tokoh Islam yang lain berseberangan ke partai lain. Taruhan caci maki merupakan resiko yang harus ditanggungnya.”
Kokohnya Pesantren Terpadu al-Kamal hingga kini merupakan bukti kesungguhan aksi dan perjuangan Kiai Thohir Wijaya untuk membangun peradaban ilmu-ilmu keislaman. Pesantren yang kokoh bukan semata-mata dari pelanjut estafet generasi penerusnya. Melainkan hasil dari kuatnya riyadhah beliau dan menanamkan benih-benih generasi penerus pesantren.
Acara mengenang wafatnya KH. Thahir Wijaya ditutup dengan do'a dan makan bersama-sama. pasca acara tersebut, dilanjutkan dengan agenda musyawarah unit pondok pesantren terpadu al-Kamal, yakni madrasah diniyah al-Kamal. Hadirin yang mengikuti musyawarah ini semua asatidz madrasah, pengurus, dan asatidz mahad aly. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Menarik
BalasHapusThanks suhu
BalasHapus