By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Di pondok pesantren, santri tidak hanya berkecimpung dalam dunia kitab kuning. Mereka juga digembleng untuk melakukan sebuah ritual yang dikenal dengan riyadhah. Dalam konteks pesantren, riyadhah merupakan sebuah praktik untuk melatih kerohanian. Hawa nafsu merupakan objek utama yang harus dikekang dan dikendalikan. Riyadhah bukanlah tujuan, melainkan sebagai sarana atau wasilah untuk taqarrub ilallah, agar mempermudah jalannya dalam proses thalabul ilmi. Untuk melakukan ritual riyadhah, kiai biasanya memberikan ijazah dalam bentuk amalan sesuai dengan tingkatannya. Bila untuk jenjang tingkatan ula (setingkat smp atau mts), kiai memberikan amalan pemula. Ijazah yang diberikan diantaranya berupa amalan do’a ngalap ilmu. Berbeda dengan tingkatan wustho (setingkat SMA atau Aliyah), mereka diberikan amalan tambahan. Diantara amalan yang diberikan berupa khizib dan pengobatan.
Syarat yang ditempuh oleh santri dalam melakukan ritual riyadhah bermacam-macam. Untuk tingkat pemula, biasanya cukup puasa 3 hari. Sedangkan malam terakhir puasa diimbangi dengan riyadhah tarkun naum (meninggalkan tidur). Syarat tarkun naum ini hanya terjadi pada malam terakhir puasa. Santri harus menahan rasa kantuk dari ba’da maghrib hingga terbitnya matahari. Tidak sedikit santri yang gagal menyelesaikan tugas akhir ini. Tarkun naum yang dimaksud bukan seperti begadang kebanyakan anak muda sekarang. Begadang yang dimaksud juga tetap diimbangi dengan perkara-perkara yang positif, yakni membaca bacaan beberapa wirid. Tidak hanya itu, pukul 01.00 dinihari melakukan shalat malam dan dilanjutkan membaca amalan yang telah diberikan oleh kiai. Inilah posisi yang berat yang harus benar-benar dikendalikan oleh santri. Bila wirid yang dibaca tidak diimbangi dengan konsentrasi penuh, maka rasa kantuk akan menyelimuti tubuh. Godaan demi godaan akan datang mengitari para pengamal. Mulai dari hawa dingin, badan terasa ingin disandarkan ke lantai, hingga mata ingin selalu dipejamkan. Bagi amalan pemula. Kiai memberikan semacam arahan dan bimbingan disaat mendekati tarkun naum. Hingga kiai pun juga ikut menemani santrinya dalam riyadhah ini.
Berbeda pada tingkat wustho, level riyadhah pada tingkatan ini lebih menantang daripada sebelumnya. Pada level ini ada yang puasa tarku ar-ruh, yaitu makanan yang dijadikan sarana berbuka tidak berupa sebangsa yang bernyawa, seperti hewan. Dalam tradisi pesantren, makanan yang bernyawa merupakan sumber dari munculnya syahwat dan hawa nafsu. Dalam konteks puasa ini, semua hewan dilarang untuk dimakan. Karena pada dasarnya hewan memiliki nafsu dan tabi’at. Manusia berbeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya, manusia memiliki karakter seperti manusia dan malaikat. Untuk mengantisipasi munculnya karakter hayawaniyah, riyadhah tarku ar-ruh perlu dilakukan. Santri dalam mengamalkan ijazah tahap ini perlu berhati-hati dalam memilih makanan. Penulis masih teringat kala kiai memberikan aturan ketat ijazah ini. Untuk menjaga keorisinalitas makanan, alangkah baiknya cukup memakan nasi dan kulupan (semacam sayuran yang cukup diberi parutan kelapa, garam, dan cabe). Atau bisa dengan sambal korek. Karena bumbu-bumbu era sekarang sudah dicampuri dengan aneka rasa. Sehingga bila tidak diperlukan kehati-hatian dan kejelian dalam memilih makanan, maka kualitas puasanya akan bekurang. Begitulah yang penulis ingat pada saat menduduki kelas wustho pada kala itu.
Selain itu ada juga yang puasa mutih, yaitu puasa disaat buka hanya diperbolehkan dengan menggunakan menu nasi putih. Biasanya, amalan ini syaratnya berpuasa selama 7 hari. Ini yang penulis kira puasa yang lumayan menantang. Bayangkan, orang yang belum pernah memakan nasi putih saja akan terasa ingin muntah. Untuk puasa 1 atau 2 hari belum terasa dibadan. Tapi bila menginjak hari ke 3 dan seterusnya badan akan terasa lemas dan lemah. Bila sudah terlatih, maka akan terasa biasa saja.
Demikian diantara macam riyadhah yang ada di pesantren. Masih banyak lagi aneka ragam riyadhah yang belum dicantumkan dalam tulisan ini. Bentuk riyadhah yang ditelah dipaparkan demikian merupakan sebuah praktik yang boleh dilakukan bagi kalangan santri yang sudah mendapat persetujuan oleh kiai. Selain itu, santri tidak sembarangan mengamalkan amalan ini tanpa ada bimbingan dari seorang guru. biasanya, santri yang telah mendapat persetujuan dan rekomendasi dari kiai diberi arahan dengan berbagai prosedur yang ada. Santri yang telah mendapat rekomendasi dikumpulkan dalam sebuah majlis. Kiai setelah memberikan arahan kemudian membacakan silsilah sanad amalan yang didapatkannya dari guru ke guru. tradisi sanad tidak hanya pada kitab kuning, melainkan dalam hal riyadhah juga demikian. Hal ini untuk menunjukkan keotentikan ilmu, bukan asal-asalan. Selain itu, ketersambungan dari guru ke guru akan mengantarkan kita kearah kemanfaatan dan keberkahan. Selain itu juga terhindar dari maraknya praktik penyimpangan agama dan ajarannya.
Motivasi santri dalam mengamalkan ijazah bukan berarti untuk menunjukkan kegagahan atau kesaktian. Melainkan untuk mendapatkan derajat tinggi disisi-Nya. Dalam firman-Nya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Dalam ayat di atas jelas, kata آمَنُواmerupakan kunci utama meraih derajat tinggi yang diberikan oleh-Nya. Untuk menuju kesana, riyadhah merupakan thariqah untuk menempuh kualitas keimanan. Apabila keimanan yang kita proses digali secara mendalam, maka hasil yang akan dipetik membuahkan hasil.
Menghilangkan kotoran hati memang bukan hal yang sepele, manusia pasti mengalami kesalahan. Dan keimanan seseorang terkadang bertambah, bahkan justru berkurang. Harapan santri mengikuti ritual riyadhah, guna meminta welas asih sang pencipta supaya memberikan cahaya illahi-Nya ke dalam jiwa. Sehingga yang muncul dalam jiwa bukan perkara yang buruk, melainkan kejernihan hati yang diimplementasikan dalam bentuk perilaku (husnul khuluq), baik dalam berhubungan kepada Allah, manusia, dan alam.
Di era modernisasi, praktik riyadhah dalam bentuk ijazah merupakan barang yang begitu langka. Rasionalisme dan kepitalisme semakin mengalir dan membabi buta dalam setiap lini kehidupan, baik masyarakat hingga dunia pesantren. Hingga pendidikan spiritualitas dalam kehidupan mulai digerus. Penulis kira minimnya spiritualitas merupakan tantangan pesantren. Bagaimana eksistensi spiritualitas di pesantren bisa digiatkan dan ditingkatkan kembali. Sehingga masyarakat bisa terbius dengan ajaran spiritualitas yang didengungkan oleh kalangan pesantren.
Praktik riyadhah sepatutnya tidak hanya diamalkan dan diterapkan di dunia pesantren. Penulis kira masyarakat membutuhkan praktik tersebut. Penulis memiliki keyakinan, bila setiap orang mengamalkan praktik riyadhah, nafsu keserakahan dunia, seperti korupsi, keserakahan meraih jabatan pangkat, kekerasan, akan terminimalisir. Justru akan lenyap. Bahkan mind seat yang muncul dalam dirinya akan kesadaran tujuan hidupnya. Bila tujuan hidupnya tidak hanya mengurusi perkara materialistik dunia. Mereka akan semakin sadar bila hidupnya di dunia hanya sekedar mampir sebentar. Dan seharusnya mempersiapkan dengan sebaik-baiknya ke jakan yang hakiki, yakni akhirat.
Amalan riyadhah seharusnya perlu didengungkan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Santri yang sudah menyebar ke lini-lini masyarakat seyogyanya memberikan semacam stimulus kepada masyarakat, agar semua golongan dari masyarakat bawah hingga ke atas untuk meningkatkan spiritualitas hidupnya dengan praktik riyadhah. Agar nafsu keduniawian yang hingga kini merajalela bisa tergusur dengan nafsu keakhiratan. Praktik riyadhah memberikan dampak positif bagi kehidupan kita, selain mengolah hawa nafsu dan meningkatkan spiritualitas hidup, juga sebagai formula untuk mendekatkan diri kepada Allah. Wallahu a’lam bi ash-shawab
Sangat inspiratof dan manfaat
BalasHapusDitirakati-diriyadhahi...
BalasHapusSebuah nuansa yang senantiasa melekat dalam lingkup pondok pesantren.
Terima kasih.
Terima kasih Ustadz Sanusi. Penuh ilmu spiritualitas. Benar, perkara kejernihan hati adalah kebutuhan yang sangat urgent dalam kehidupan masyarakat modern saat ini.
BalasHapus