By. Muh. Imam Sanusi al-Khanafi
Di pesantren, kajian kitab klasik yang digunakan untuk menyuntik kawan-kawan santri agar cinta terhadap al-Qur’an diantaranya, ialah kitab at-Tibyan fi Adabi Hamalati al-Quran karya Imam Nawawi ad-Dimasyqi. Motivasi penulis mendiskusikan kitab ini, dikarenakan banyaknya masyarakat yang kurang semangat untuk membaca dan mendalami al-Qur’an. Mereka lebih mementingkan pelajaran sekolah formal ketimbang al-Qur’an. Pernyataan mengejutkan dari data Badan Pusat Statistik, menunjukkan 54 persen masyarakat Islam yang ada di Indonesia belum mengenal huruf al-Qur’an. Hal ini dikuatkan dengan hasil riset PTIQ Jakarta, bila masyarakat Islam di Indonesia yang belum bisa membaca al-Qur’an bekisar 60-70 persen.
Minimnya minat masyarakat dalam mendalami al-Qur’an,ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena ketidaktahuan akan manfaat dan keutamaan dari al-Quran. Kedua, lebih mementingkan kebutuhan duniawi ketimbang ukhrawi. Sehingga, lebih mengejar yang tampak dari yang tidak tampak. Padahal, bila menyeimbangkan antara keduanya dengan mengutamakan yang ukhrawi, maka perkara duniawi juga akan ikut. Mayoritas masyarakat, baik yang tahu maupun belum tahu, faktor kesibukanlah yang terkadang menunda peluang belajar al-Qur’an. Problem semacam ini seharusnya cepat-cepat di atasi. Santri juga ikut andil dalam mengatasi problem demikian, minat masyarakat untuk mengkaji al-Qur’an harus ditingkatkan lagi.
Kajian kitab Tibyan ini merupakan terobosan untuk membangun dan menumbuhkan jiwa santri agar meningkatkan rasa cintanya terhadap al-Qur’an. Tentunya dijadikan bekal kala santri sudah terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang kita tahu, santri memiliki peran penting terhadap pendidikan agama di masyarakat. Maka tidak jarang, setiap kiai yang ada di pesantren selalu mendo’akan santri-santrinya agar ilmunya berkah dan manfaat di rumah masing-masing.
Kitab terbitan dari Beirut, Lebanon ini lumayan tebal, terdiri dari 243 halaman. Tema yang dibahas dalam kitab ini berjumlah 10, diantaranya membahas berkaitan tentang keutamaan membaca dan menghafal al-Qur’an, keutamaan pembaca al-Quran, kewajiban menghormati penghafal al-Qur’an beserta larangan menyakitinya, adab pengajar dan orang ang belajar al-Qur’an, adab orang yang hafal al-Qur’an, adab membaca al-Qur’an, adab setiap insan dengan al-Qur’an, mengenenai surat dan ayat yang berfadhilah pada waktu tertentu, tentang penulisan al-Qur’an dan memuliakannya, istillah bahasa asing dalam al-Qur’an.
Berdasarkan aneka ragam tema di atas, penulis hanya mengambil sebagian isi tema mengenai keutamaan membaca dan menghafal al-Qur’an. Syekh an-Nawawi dalam kitabnya dawuh,
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“ Sebaik-baik kalian ialah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Hadis ini simpel, tapi padat dengan makna. Ada dua poin yang termaktub dalam hadis tersebut, yakni belajar dan mengajar al-Qur’an. Poin pertama, Belajar al-Qur’an merupakan suatu kewajiban bagi seluruh umat Islam. Jangan sampai hubungan antara diri kita dan al-Qur’an dipisahkan. Ingat, al-Qur’an tidak akan mendatangkan suatu kemanfaatan bila manusia itu sendiri tidak mau mengamalkannya. Pentingnya belajar al-Qur’an ialah membikin para pembaca tepat sesuai bacaan perhurufnya. Dalam artian, masing-masing huruf harus dibaca perlahan-lahan, agar bacaan yang terlipat atau samar bisa dihindarkan.
Membaca al-Qur’an bukan sekedar enak didengar, suara indah, dan menarik perhatian. Cara baca al-Qur’an yang diutamakan ialah tidak meniadakan aturan-atauran dan prosedur dalam tajwid. Dalam al-Qur’an sudah jelas, “Dan bacalah dengan perlahan-lahan yang jelas”. Banyak pembaca al-Qur’an, sedang al-Qur’an sendiri mengutuk para pembaca. Dengan dalih alasan, pembaca tidak mau mengamalkan kandungan isi dalam al-Qur’an. Selain itu, makna dan bacaan yang terkandung dalam al-Qur’an juga tercampur aduk.
Al-Qur’an seharusnya dipelajari dengan pendampingan seorang guru. Belajar al-Qur’an itu bukan sekedar memperbanyak teori, tapi menyeimbangkan antara teori dan praktik. Belajar tanpa berguru akan merusak cara bacaan al-Qur’an itu sendiri. Di era sekarang, sudah banyak referensi kitab yang membahas cara baca al-Qur’an. Menurut hemat penulis, itu hanya sebagai wawasan. Tapi masalah praktik, sebaiknya disorokkan (dipraktikkan) dengan dampingan seorang guru. Sehingga, kita bisa memadukan antara referensi yang dibaca dengan arahan seorang guru.
Seorang guru juga harus terus belajar, bukan berarti menjadi guru, merasa sudah dituakan, dan repot segala macam berhenti untuk belajar. Seharusnya, studi al- Qur’an juga harus ditingkatkan. Zaman selalu berkembang, maka untuk menyeimbangkan antara era klasik dan kekinian alangkah baiknya perlu adanya kajian lebih mendalam. Baik guru dan murid, janganlah selalu merasa bisa dan mencukupkan diri akan ilmu yang didapatkannya. Jadikanlah studi al-Qur’an secara terus menerus sebagai sarana amal ibadah yang sangat bernilai. Sehingga, bisa menjadi wasilah kebahagiaan di dunia hingga akhirat.
Belajar al-Qur’an merupakan ibadah yaumiah. Maka mengetahui cara membaca al-Qur’an merupakan termasuk mengetahui ilmu hal. Dalam kitab ta’lim muta’alim, ilmu yang paling utama adalah ilmu hal, dan perbuatan yang paling utama adalah memelihara hal. Belajar al-Qur’an jangan sampai diabaikan, karena al-Qur’an akan membimbing kehidupan iman dan rohaninya ke jalan yang diridhai-Nya.
Banyak sekali fadhilah-fadhilah orang yang belajar al-Qur’an. Diantara fadhilah orang yang belajar dan membaca al-Qur’an, pertama, pembaca akan sealu mendapat berkah. Dalam al-Qur’an dijelaskan, Dan Al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah Dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. Al-An’am : 92). Dalam al-Qur’an, baik dari segi bacaan, makna, maupun ilmu yang terkandung didalamnya semua diberkati oleh-Nya. Maka tidak heran, membaca tiap huruf tanpa memahami maknanya, maka Allah akan memberikan pahala satu kebaikan yang sepadan dengan sepuluh kebaikan yang lain. Walaupun bacaan yang dibaca kurang lancar, Allah tetap memberikan dua pahala bagi umatnya. Sebaliknya, bila bacaan tersebut lancar dan mahir sesuai dengan prosedur tajwid, maka Allah akan menempatkannya di Syurga bersama para Nabi dan Rasul-Nya.
Poin kedua, mengajarkan al-Qur’an merupakan suatu keharusan. Jika hanya belajar dan mampu menguasainya, tanpa diimbangi dengan mengajarkannya, maka belum menjadi umat yang terbaik, sesuai hadis tersebut. Karena, umat yang terbaik ialah orang yang belajar dan mampu mengajarkankannya kepada orang lain. Hal ini sesuai dalam firman-Nya,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. “
Dalam ayat di atas, ada poin penting terkait syarat menjadi umat terbaik, pertama, تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ (selalu mengajak kebaikan). Bila dilihat dalam konteks hadis di atas, mengajarkan ilmu kepada orang lain merupakan bentuk mengajak ke perkara yang baik. Penulis ambil contoh, bila mayoritas orang belum bisa membaca al-Qur’an, sedangkan hanya beberapa orang yang menguasai, maka yang menguasai harus mengajarkannya. Hal demikianj merupakan bentuk dari penegahan kerusakan. Kedua, وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ (dan selalu mencegah kemungkaran). Mendengungkan semangat berinteraksi dengan al-Qur’an ber-basis pembelajaran merupakan bentuk pencegahan perkara yang mungkar. Umat muslim jangan sampai meninggalkan kewajibannya dalam mempelajari al-Qur’an dengan lebih mementingkan perkara duniawi. Ketiga, وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (beriman kepada Allah). Mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain merupakan bentuk menyebarkan ilmu-ilmunya Allah. Pastinya ia percaya dengan utusan-Nya dengan lantaran kitab-Nya.
Menjadi umat terbaik dalam hal amar ma’ruf nahi munkar bukanlah perkara yang digampangkan. Khususnya bagi tanggung jawab seorang guru ke murid. Hal demikian diperlukan motivasi keagamaan yang tinggi. Karena, keimananlah yang pada akhirnya menentukan kualitas penegakan amar ma’ruf nahi munkar.
Hadis yang dipaparkan dalam kitab Tibyan memang sederhana. Tapi kaya akan penafsiran terkandung didalamnya. Walaupun hadis tersebut tidak dicantumkan sanadnya secara utuh, bukan semata-mata hadis ini berkualitas dhaif. Syekh an-Nawawi memang sengaja meringkas sanad. Hal ini digunakan dalam rangka untuk mempermudah para pengkaji dalam memahami teks tersebut. Baginya, kitab yang dikaji oleh pembaca mudah membekas, dihaffal, dan disebarkan ke orang lain.
Kitab ini membimbing para pengkaji untuk lebih giat lagi untuk berinteraksi dengan al-Qur’an, serta memberi nasehat kepada para pengkaji al-Qur’an dengan berbagai keutmaan, serta aturan-aturannya. Semoga, dengan kitab ini para santri memiliki motivasi untuk lebih semanagat lagi untuk belajar al-Qur’’an. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Catatan yang menyejukkan. Membaca, memahami, dan mengamalkan Al Qur'an seharusnya menjadi trilogi bagi setiap muslim.
BalasHapusLuar biasa sekali...mantab tadz
BalasHapusDan bermanfaat