By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Kajian pesantren memang tidak ada habisnya. Aneka ragam aktivitas yang ada didalamnya selalu mengundang diskusi dan pembahasan dari civitas akademisi maupun non akademisi. Pesantren memang pantas untuk dijadikan sebagai destinasi keilmuan. Ciri khas yang mengakar kuat menjadikan lembaga ini selalu memunculkan isu-isu yang menarik perhatian. Diantara kajian pesantren yang mengundang perhatian dari berbagai kalangan ialah tradisi rajah.
Rajah memang sudah masyhur dikalangan masyarakat. Dilihat dari segi makna, rajah merupakan tulisan yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah. Dalam dunia pesantren, rajah kebanyakan digunakan untuk benteng. Yakni sebagai bentuk perlindungan diri. Seperti menangkal penyakit, tolak balak, dan kejahatan orang lain. Proses pembuatan rajah tidak mudah, orang yang membuat rajah tentunya memiliki tingkatan maqam taqarub ilallah, mampu mencapai tingkat mukasyafah.
Penulis pernah melihat tata cara pembuatan rajah, saat itu bahan yang digunakan ialah spidol, kain kafan (putih), minyak wangi. Selain itu, ada yang terbuat dari kulit binatang, tulang, benang kain, dan lain sebagianya. Sebetulnya masih banyak lagi, dan beraneka ragam, sesuai kebutuhan yang akan digunakan. Dalam tradisi Islam, rajah juga bisa disematkan dengan jimat. Kata jimat sesungguhnya merupakan transliterasi dari bahasa arab, azimat atau tamimah (penyempurna)(baca: Ibn Mandzur:69). Adapun tujuan dari azimat itu sendiri memiliki fungsi yang sama seperti rajah.
Proses pembuatan rajah, ternyata juga ada ritual tertentu. Biasanya, pembuat rajah mempersiapkan aneka macam kebutuhan yang sikaranya digunakan pada ritual tersebut. Adapun susunan ritual pembuatan rajah juga beraneka ragam, diantaranya mulai dari muqadimah, bacaan ayat-ayat tertentu secara berjamaah, berdoa, dan ritual sendiri oleh Kiainya. Tidak sembarangan huruf-huruf dalam rajah ditulis, ternyata ada semacam pakem atau metode tertentu dalam penulisan rajah. Penyusunan huruf harus didasarkan dengan kaidah-kaidah penulisan rajah yang benar. Adapun bila rajah dibuat tanpa pakem, atau asal-asalan, maka fungsionalisasi rajah tidak lagi magis (mengandung unsur supranatural).
Hasil pembuatan rajah bisa diletakkan di berbagai tempat. Ada yang diletakkan ditubuh (sebagai susuk), disimpan dalam bentuk bandul kalung, gelang, diletakkan di atas atap rumah, dan lain-lain. Biasanya, pesantren membuat rajah untuk mengantisipasi bila dijarah oleh orang yang sengaja ingin mengganggu keharmonisan lingkungan pesantren. Di era millenial, masih saja ada segelintir orang yang ingin mengusik ketenangan kiai, pengurus, hingga para santri. Penulis beberapa kali menemukan kejadian tersebut. Kejadian itu terjadi kala Kiai mengumpulkan semua jajaran pengurus pusat. Tiap pengurus yang dikumpulkan tentunya memiliki amalan sendiri-sendiri (senjata untuk perlindungan diri). Kala itu, ada beberapa ritual yang harus dilaksanakan waktu tengah malam itu. Beribu-ribu ayat khas yang harus dibaca, hingga diantara pengurus pun ada yang tidak kuat menahan rasa kantuk. Ada juga diantara peserta yang sampai mengorok-ngorok (karena saking lamanya pembacaan ayat tersebut). Pasca ritual, pengurus membuat pagar ke titik tertentu. Pagar yang dibuat sudah diisi dengan asma' dari ayat-ayat al-Quran.
Tidak hanya itu, ada juga santri yang diganggu oleh makhlus halus. Penulis tidak tega melihat hal demikian. Hampir tiap hari santri tersebut dijarah oleh makhluk yang tidak tampak tersebut. Saat itu, penulis memiliki inisiatif untuk mengevakuasi sementara di kamar pengurus, supaya santri tersebut bisa tenang, dan nyaman dalam beraktivutas. Anehnya, kala penulis mengajak shalat berjamaah, ia langsung kaget dan membatalkan shalat tersebut. Saat itu pula ia menangis kesakitan, bila ia seperti dipukul oleh makhluk tak kasat mata ketika hendak mengerjakan shalat. Begitulah pengalaman menarik yang hingga kini masih tersimpan dalam memori penulis. Walaupun fenomena demikian di era modern dianggap tahayyul.
Saat itu pula, dipakainya rajah berbentuk pedang. Untuk mengantisipasi gangguan yang tidak diinginkan. Rupanya ada khasiatnya. Entah khasiat tersebut bisa lama atau tidak, belum tahu secara detail. Karena selang beberapa hari dalam kejadian tersebut, ia berpamitan untuk keluar dari pesantren.
Sebetulnya masih banyak lagi, dan beraneka ragam terhadap kasuistik di pesantren. Terutama masalah per-jimatan atau rajah. Fenomena rajah hingga kini dipercaya oleh masyarakat memiliki unsur magis. Meskipun berbingkai unsur magis, pesantren hanya menggunakannya sebagai wasilah. Bukan untuk disembah, maupun diagung-agungkan. Rajah hanya digunakan sebagai sarana ikhtiar untuk menghadapi suatu masalah yang menimpa. Tujuan akhir tetap berpedoman kepada petunjuk dan arahan Allah SWT. Praktik pembuatan rajah dan penggunaannya merupakan fenomena kehidupan manusia, khususnya di wilayah pesantren terkait al-Quran hidup di tengah-tengah mereka. Pemahaman al-Quran yang hidup dalam kehidupan mereka beraneka ragam. Dalam bahasa Sahiron Syamsuddin, merupakan fenomena everyday life of the al-Quran, yakni menjadikan potongan ayat al-Quran dikutip dan dijadikan untuk kebutuhan yang diinginkannya, diantaranya dijadikan jimat untuk perlindungan diri (tameng), tolak balak, dan melindungi unsur jahat lain (lihat: Sahiron: 43-45). Wallahu a'lamu bi ash-Shawab.
Mantab pak....
BalasHapus