By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi
Rutinitas dan aktivitas pesantren memang selalu menarik untuk dijadikan kajian. Setiap aktivitas yang dilakukan santri di pesantren memiliki nilai-nilai religiusitas tinggi. Seperti yang kita ketahui, pesantren memang layak mendapat julukan destinasi keilmuan, khususnya dalam bidang keagamaan. Ciri khas sistem menejemen pesantren, serta berdasarkan tata pengelola yang mengadopsi kearifan lokal dan nilai-nilai agama. Sehingga pesantren mampu mengkultuskan aspek intelektualitas dan spiritualitas kaum santri di tengah-tengah kegersangan nilai-nilai moralitas di era modern.
Dewasa ini, aktivitas pesantren yang mengadopsi kearifan lokal diantaranya kegiatan kirim leluhur, baik kepada para masyayikh, seluruh umat muslim dan muslimat. Di pesantren, kegiatan tersebut dimulai pasca shalat maghrib. Biasanya, kiai mengawalinya dengan bacaan wirid singkat, tawashul, dan pembacaan yasin. Dalam konteks ini, tawasul merupakan sarana/wasilah untuk menghadiyahkan atau mengirim do'a kepada para leluhur. Tujuannya, sebagai perantara untuk menghubungkan kepada Allah, agar do'anya dikabulkan oleh-Nya. Pembacaan tawasul diawali dengan mengkhususkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabi'in, tabi'ut tabiin, para auliya', syuhada', ulama', dan terakhir kepada leluhur kita.
Setelah tawasul, kiai membacakan surah yasin. Dalam tradisi pesantren, pembacaan surah yasin di malam jum'at sudah membudaya, bahkan di pedesaan pun sudah menjadi rutinitas mingguan. Masyarakat lebih mengenalnya dengan tradisi yasinan. Surah yasin memang multifungsi. Dalam riwayat hadis dijelaskan,
من قرأ سورة يس والصافات ليلة الجمعة أعطاه الله سؤله
"Barangsiapa yang membaca surah yasin dan ash-shafat di malam jum'at, Allah akan mengabulkan permintaannya." (Al-Munawi, Faidhul Qadhir Syarah Jami' ash-Shaghir, juz 6, h.199)
Berdasarkan penjelasan hadis di atas, surah yasin memiliki banyak keutamaan. Hal ini sesuai dengan niat dan hajat si pembaca. Keutamaannya bisa digunakan untuk menolak bala', benteng, pengobatan, dan semua hajat yang diinginkannya. Akan tetapi, mayoritas masyarakat mengaplikasikannya dalam agenda kirim leluhur, atau orang sakit. Tidak jarang di kala salah satu tetangga menghadapi sakit kritis, tokoh Agama membacakan surah yasin dengan harapan, apabila Allah memberikan kesembuhan, semoga sakit yang dideritanya segera diberi kesembuhan Oleh-Nya. Sebaliknya, apabila Allah menghendaki lain, yakni kehidupan di dunia segera berakhir, semoga Allah segera mencabutnya dengan tenang, dan khusnul khotimah.
Di pesantren, pembacaan surah yasin di malam jum'at sudah mengakar kuat. Selain pendidikan berbasis kerohanian, santri juga terbiasa mendoakan para leluhur. Santri meyakini, bila hubungan rohaniah dengan leluhur pasti masih sambung. Penghuni kubur hanya jasadnya yang mati, tapi ruhnya masih hidup. Penulis masih teringat dengan jawaban Nabi diwaktu Aisyah istrinya bertanya tentang bacaan kala di kuburan. Lalu, Nabi menjawabnya,
السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِين وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُون
"Assalamualaikum orang-orang Muslim dan Mu'min yang bersemayam di alam kubur. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang telah mendahului (orang-orang yang sudah meninggal) kami dan yang akan menyusul kemudian (orang-orang yang masih hidup). Dan sesungguhnya kami insha allah akan menyusul kalian." (Lihat: Ibn Taimiyah, Majmu' Fatawi, juz 27, h. 165)
Hadis di atas jelas, apabila orang yang dikuburan pada hakikatnya ruhnya masih hidup. Nabi sendiri kala melewati kuburan, atau hendak ke keburan mengucapkan salam kepada penduduk tersebut. Terlepas dari pernyataan tesebut, sesungguhnya santri sudah membumikan praktik yang diajarkan oleh Baginda Nabi.
Pembacan yasin di malam jum'at memberikan spirit tersendiri bagi santri untuk meningkatkan kecerdasan spiritual. Hubungan antara santri dan leluhur tidak bisa dipisahkan. Walaupun para tokoh rasionalis menganggap pengiriman do'a kepada leluhur tidak sampai. Akan tetapi, dunia pesantren tetap meyakininya bila leluhur yang dicintai Allah, pasti ruhnya belum meninggal. Dan kebanyakan para santri berbondong-bondong ke makam para masyayikh dalam rangka untuk tabarukan, atau sambung bathin kepada para masyayikh. Entah dalam rangka mengirim do'a, lalaran nadham, hafalan quran, hingga belajar kitab.
Agenda malam jum'at untuk madrasah diniyah memang diliburkan, hal ini dikarenakan perlunya waktu khusus untuk meningkatkan spiritulitas diri, bukan hanya mementingkan kecerdasan intelektual dan emosional saja. Tabarukan kepada para muassis yang sudah wafat memang diperlukan. Selain sebagai penguat bathin, juga sebagai sarana untuk ngalap berkah. Semoga dengan tabarukan, dengan tabarukan kirim doa kepada leluhur sebagai perantara untuk mempermudah dalam proses thalabul ilmi. Yang terpenting, senyampang kita mematuhi aturan-aturan cara beribadah, sesuai prosedur yang ditetapkan oleh Agama, maka tabarukan kepada leluhur tidak patut dipertentangkan. Wallahu a'lam bis shawab
Komentar
Posting Komentar