Langsung ke konten utama

SANTRI, PESANTREN, DAN APLIKASINYA TERHADAP HADIS AMAL TIDAK TERPUTUS



By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi

Dalam kajian pesantren, kita sering mendengar pembahasan hadis yang cukup masyhur, khususnya dikalangan santri, dikala kiai sedang memberikan penjelasan disebuah majlis ilmu. Hadis yang menurut hemat penulis sudah hafal di luar kepala santri ini berbunyi,


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله تعالى عنه: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ،أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه

Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah,  ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya.” (Shahih Muslim,, juz 3, Bab al-Wasiyah, hlm. 1255)

Hadis riwayat Muslim di atas bila ditarik dalam konteks era sekarang nampaknya begitu relevan, khususnya dalam dunia pesantren. Bila ditinjau dari segi sanad, hadis ini memang memiliki catatan riwayat yang shahih. Artinya, hadis ini bila diteliti dari segi sanad sudah final. Dilain sisi, kitab jami'us Shahih (shahih Muslim) diantara kitab yang terbilang mencakup hadis-hadis shahih dan murni setelah kitabullah.

Metode yang dihidangkan dalam kitab shahih Muslim memang menarik. Bila dibandingkan dengan kitab sunan, Imam Muslim mengikuti prosedur yang disusun oleh gurunya, yakni Imam Bukhari. Metode jami' merupakan cara yang ditempuh olehnya untuk mengumpulkan hadis-hadis yang akan dibukukan. Dalam disiplin ilmu hadis, metode jami’ sesungguhnya mencakup seluruh topik dalam agama, baik berkaitan masalah fiqih, akidah, manaqib, tafsir, dan lainnya (lihat: Kritik hadis karya Mustafa Ali Ya'qub). Beda dengan kitab sunan, sistem penyusunannya lebih condong pada masalah abwabul fiqhiyyah (pembahasan pada bab-bab fiqih). Sistematika yang disodorkan juga sama dengan tema kitab-kitab fiqih.

Bila dilihat dari segi matan-nya, hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur'an,hadis, maupun akal. Sehingga bisa dijadikan pijakan, khususnya untuk kalangan umat Muslim. Walaupun dari segi sanad sudah mencukupi kaidah-kaidah ke-maqbulan suatu hadis. Terkait dengan hadis tersebut, nampaknya bila dilihat dari kacamata pesantren, seorang santri seyognya sudah mengaplikasikannya dalam kehidupan pesantren. Dilain sisi, santri juga sudah mengamalkan syarat-syarat penjelasan hadis di atas. Seperti yang kita lihat, pesantren tidak sekedar mengajarkan kajian teori tanpa diimbangi aplikasi (praktik). Melihat tiga perkara dalam kajian teks hadis di atas, santri sesungguhnya telah mempraktikkannya dalam kegiatan aktivitas sehari-hari. Diantara aplikasi pesantren terhadap kajian di atas ialah, Pertama, masalah sedekah jariyah. Ada beberapa amal jariyah yang banyak sekali diterapkan dalam dunia pesantren. Kita ambil contoh, mengabdikan diri di pesantren. Ber-khidmah merupakan bentuk amal jariyah di pesantren. Amal jariyah tidak harus berupa harta, tapi bisa berupa bin-nafs (tenaga). Di pesantren sendiri santri diajari untuk ro'an bangunan. Hal ini bukan berarti memanfaatkan santri, tapi merupakan bentuk tarbiyah santri dalam mengaplikasikan hadis tersebut. Kelak, hasil sumbangan tenaga santri menjadi amal jariyah di akhirat nanti. 

Kedua, ilmu yang bermanfaat. Mendapat ilmu yang bermanfaat merupakan tujuan yang ingin dicapai santri. Dalam kehidupan pesantren, santri berbondong-bondong untuk ngalap berkah kepada Kiai, guru, maupun di lembaga unit pesantren. Guna untuk memperoleh kemanfaatan, baik di dunia hingga akhirat. Penulis masih teringat dengan dawuh ulama asal makkah, yakni Syekh Muhammad bin alwi al Maliki al Makki. Beliau dawuh,

قال الشيخ الحبيبنا العلامة السيد محمد بن علوي المالكي الحسني: بالعلم ارتفع وبالخدمة انتفع

"Dengan ilmu pengetahuan seseorang akan diangkat derajatnya, dan dengan khidmah (ngabdi) ia akan mendapatkan kemanfaatan."

Pernyataan Syekh Maliki ini bila ditarik dalam konteks sekarang memang sangat cocok bagi kalangan santri. Dengan ilmu dan kemanfaatan inilah santri telah mencapai hakikat hidup yang sesungguhnya. Menuntut ilmu itu wajib, ilmu digunakan untuk membedakan antara manusia dengan binatang. Ilmu juga sebagai wasilah untuk meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan. Dengan ilmu, sesungguhnya akan memperoleh kebahagiaan abadi dan kemuliaan disisi-Nya. Dalam kitab ta'lim muta'lim dijelaskan,

قال الشيخ محمد ابن الحسن بن عبدالله؛
هو العلم الهادى الى سنن الهدى هو الحصن ينجي من جميع الشدائد

Syekh Muhammad Ibnul Hasan bin Abdullah dawuh, "Ilmu adalah penunjuk ke jalan hidayah, Ilmu merupakan benteng penyelamat dari segala bencana."

Sebesar apapun ilmu yang diperoleh, bila ilmu yang didapatkan kurang manfaat, maka ilmu yang didapatkannya akan terbuang sia-sia. Ilmu dan kemanfaatan harus seimbang, jangan sampai terpisah. Karena pepatah mengatakan,

اعلموا أن العلم بلا عمل كشجرة بلا ثمر

"Ketauhilah, sesungguhnya Ilmu tanpa amal bagaikan sebuah pohon tanpa berbuah."

Di pesantren, tindak-tanduk kepada guru sangatlah melekat pada diri santri. Karena mereka sadar, mencari ilmu seharusnya menyerahkan diri secara totalitas kepada guru. Mereka harus rela, siap, dan ikhlas untuk memperoleh didikan seorang guru. Maka dari itu, ciri khas santri dimata masyarakat ialah menanamkan jiwa ikhlas. Karena dengan keikhlasan inilah mempermudah jalannya dalam proses thalabul ilmi. Keikhlasan santri kepada guru dalam ta'lim dan ta'alum juga mempermudah prosesnya untuk mendapatkan keberkahan ilmu. Dengan keberkahan ilmu inilah santri akan mendapatkan kemanfaat baik di dunia hingga akhirat.

Ketiga, menjadi anak yang shalih. Kriteria ketiga ini merupakan cita-cita orang tua. Untuk menjadikan anak shalih, orang tua menempatkan anaknya untuk ngangsu kaweruh kepada Kiai di pesantren. Guna menginginkan anaknya untuk bisa menjadi kebanggaan orang tua, baik di dunia hingga akhirat. Karena anak merupakan investasi berharga orang tua. Sehingga bila orang tua meninggal kelak, mereka berharap anak yang dididik mendoakannya, dan mengirimkan wasilah tahlil dan yasin kepadanya kelak. Mencetak anak shalih, pesantren diantara tempat untuk mendidik dan menggemblengnya. Hal ini memang tujuan tiap lembaga pesantren. Santri yang mondok dengan sungguh-sungguh, selepas pulang dari pesantren, dan terjun di masyarakat kelak menjadi orang yang berguna. Keshalihan seseorang terletak pada seberapa besar kesungguhan, keikhlasan, dan totalitasnya ngangsu kaweruh di pesantren.

Pendidikan berbasis karakter sesungguhnya telah diimplementasikan dalam aktivitas sehari-hari di pesantren. Kita ambil contoh, menciptakan kecerdasan berbasis spiritual. Aktivitas Spiritual telah dibumikan di malam jum'at. Tidak jarang di malam itu, santri dibina untuk mengikuti tradisi yasinan. Pendidikan ini guna untuk menciptakan keshalihan personal dan sosial. Secara personal, mereka dilatih untuk meningkatkan kualitas iman dan ketaqwaannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena dalam riwayat abi Dawud dijelaskan,

وأخْرَجَ ابْنُ أبِي داوُدَ في فَضائِلِ القُرْآنِ، وابْنُ النَّجّارِ في تارِيخِهِ مِن طَرِيقِ نَهْشَلِ بْنِ سَعِيدٍ الوَرْدانِيِّ عَنِ الضَّحّاكِ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قالَ: قالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وسَلَّمَ -: «مَن قَرَأ يس والصّافّاتِ يَوْمَ الجُمُعَةِ ثُمَّ سَألَ اللَّهَ أعْطاهُ سُؤْلَهُ

"Barangsiapa yang membaca surat yasin dan ash-shafat di malam jum'at, Allah akan mengabulkan doa (permintaannya)." (Fatqul Qadir,tafsir surah ash-shafat, juz 4, h.442)

Dilain sisi, santri juga dilatih untuk peka terhadap keshalihan sosial. Dalam kata lain, santri diajarkan tentang fungsionalisasi dari surat yasin. Selain untuk personal, fadhilah surat yasin juga bisa untuk orang lain, bahkan sampai ke orang yang sudah meninggal.

Pembacaan yasin di pesantren juga digunakan untuk bekal kepada santri bila suatu saat nanti berguna di rumah masing-masing. Selain itu, santri juga dilatih untuk mendoakan leluhur-leluhur dengan wasilah surat yasin. Aktivitas spiritual yang diajarkan di pesantren merupakan bentuk pengamalan penggalan dari hadis waladun shalihun (menjadi anak yang shalih).

Pengamalan hadis diatas sesungguhnya telah diaplikasikan dalam sistem pendidikan pesantren. Tidak heran selepas pulang dari pesantren, mereka telah memiliki kecukupan dari persyaratan hadis di atas, yang siap untuk diamalkan dalam kehidupan sosial. Dengan pendidikan seperti ini, pesantren sesungguhnya telah mempopulerkan, mengaplikasikan, dan membumikan hadis tersebut dalam kehidupan sosial. Sehingga hadis tersebut hingga kini tetap eksis di kalangan masyarakat. Wallahu 'alam bis Shawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...