Langsung ke konten utama

PADASAN DAN PENCEGAHAN COVID-19


Sumber foto: liputan6.com

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi

Persebaran covid-19 hingga kini terus membabi buta. Di Jawa Timur sendiri kasus coronavirus sedikit-demi sedikit mulai memasuki ke seluruh pelosok Desa. Sebagai masyarakat yang baik, kita seharusnya tetap disiplin menaati aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan dari ulama’, para kyai dalam setiap majlis pengajiannya, baik melalui media online, massa atau pers telah memperingatkan berkali-kali kepada masyarakat untuk berikhtiar, baik secara dhahiriah maupun bathiniah. Ikhtiar dhahiriah, yakni dengan memakai masker, menjaga jarak, dan selalu cuci tangan. Ikhtiar bathiniah, senantiasa kita berdo’a kepada Allah SWT, dengan berbagai wasilah. Baik dengan memperbanyak sholawat, istighfar, maupun dengan do'a yang telah diijazahkan dari para ulama'.

Terkait protokol kesehatan, para leluhur sesungguhnya telah mengaplikasikan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya menyediakan padasan di setiap depan rumah, ataupun pinggir jalan. Dalam kamus kbbi, padasan sendiri memiliki makna sebuah tempayan yang diberi lubang pancuran (tempat air wudhu), yang terbuat dari tanah liat. Biasanya padasan diletakkan di sebuah pekarangan sebelum masuk rumah. Dahulu kala, padasan sendiri dilengkapi dengan gayung (jawa: bathok), guna untuk membersihkan tangan, kaki, maupun wajah ketika pulang dari sawah, pasar, atau kerja.

Dulu, padasan sudah muncul pada masa era kerajaan, hingga sejak Islam tersebar di nusantara. Walisongo menggunakan padasan dengan tujuan untuk berdakwah. Selain mempertahankan tradisi lokal, walisongo memanfaatkan padasan dalam rangka untuk bersuci. Sehingga Islam nampak tidak bertentangan dengan tradisi lokal. Justru mampu hidup damai dan harmonis. Bersuci merupakan strategi Walisongo untuk menarik penduduk lokal supaya tertarik dengan Islam. Selain itu, Islam sendiri mengajarkan tentang pentingnya bersuci. Hal ini berdasarkan dawuh Nabi,

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ

Dari Abi Malik al-Asy’ari r.a, sesungguhnya Nabi SAW dawuh,”Kesucian adakah separuh dari keimanan.” (ad-Darami, juz 1, h. 518)

Hadis di atas bila ditarik dalam konteks pandemi sangatlah relevan. Para leluhur sesungguhnya telah mengamalkan dengan shalih fungsionalisasi padasan sebagai wadah bersuci. Padasan memang multifungsi, ada beberapa pelajaran leluhur yang seharusnya kita petik pesan moral dari nilai-nilai yang terkandung. Pertama, padasan mengajarkan keikhlasan. Betapa tidak, pemilik setiap hari mengkroscek isi dari padasan itu sendiri. Apabila habis, ia dengan ikhlas mengisi padasan dengan sepenuh hati. Selain itu, tanpa ia kenal siapa pemakai padasan tersebut, dengan ikhlas menghidangkannya untuk kemashlahatan sesama manusia. 

Walaupun padasan itu gratis,dan pemilik suka rela memberikannya, bukan berarti pengguna memanfaatkannya tanpa alasan yang sangat penting. Pengguna seharusnya sadar diri atas keperluan air yang digunakan. Keperluan air yang digunakan cukup seperlunya. Hal demikian merupakan bentuk rasa kesadaran antar sesama manusia.

Kedua, menciptakan keshalihan secara sosial. Adanya padasan sesungguhnya mempererat rasa kepedulian antar sesama. Sehingga antar sesama manusia saling menyadarkan satu sama lain. Rasa kepedulian terbentuk apabila ada salah satu yang mengalah untuk merangkul tanpa memukul, mengajak tanpa mengejek kepada sesama yang memang acuh tak acuh terhadap situasi dan kondisi. Dilain sisi, bentuk kepedulian bukan hanya diaktualisasikan sekedar teori belaka, namun dapat diimplementasikan dalam bentuk sikap atau perilaku secara personal. Kemudian baru diterapkan untuk sesama manusia yang lain.

Ketiga, menjadikan hidup sehat semakin terbiasa. Masyarakat akan sering memanfaatkan padasan untuk keperluan kesehatan. Misal, untuk keperluan mencuci tangan, wudhu dan lain sebagainya. Dengan adanya padasan, masyarakat akan semakin terbiasa untuk hidup sehat. Faktor kebiasaanlah yang seharusnya digiatkan. Tanpa dipaksa, maka kebiasaan akan sulit untuk diaplikasikan.

Dewasa ini, padasan mulai masyhur sebagai sarana penunjang pencegahan covid-19. Walaupun konteksnya di era pandemi, tapi fungsionalisasi dari padasan itu sendiri hingga kini tidak berubah. Tersebarnya padasan di era pandemi memberikan pesan kepada kita, apabila para leluhur telah mengaktualisasikan prosedur yang ditetapkan pemerintah. Walaupun konteksnya pada saat itu berbeda dengan era sekarang. Darinya kita belajar bagaimana cara mengaplikasikan fungsionalisasi dari padasan. Selain itu, kita juga belajar dari leluhur arti dari kepedulian antar sesama. Apabila bentuk kepedulian itulah sesungguhnya akan muncul benih-benih kesadaran. Diantaranya tertib dengan protokol kesehatan. Wallahu a’lamu 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...