By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi
Di pesantren, pendidikan berbasis Agama merupakan tempatnya. Penulis kurang yakin apabila era modernisasi memandang eksistensi pesantren menyatakan lambang keterbelakangan. Sebaliknya, pesantren memiliki kontribusi yang sangat penting bagi masyarakat pribumi dalam membentuk masyarakat agamis, mengerti huruf, dan paham akan pentingnya kultur budaya. Selama ini, pesantren masih peka terhadap tuntutan zaman dan perannya dalam segala aspek kehidupan. Aktivitas pendidikan pesantren sudah di desain secara fleksibel untuk menghadapi setiap tantangan di era modernisasi, dengan jargonnya," al muhafadzatu ala qadimi ash-shalih wal akhdzu bil jadidi al ashlah." Prinsip percaya diri yang ditanamkan pesantren merupakan kunci untuk menggapai keberhasilan visi dan misi.
Dalam kurikulum pesantren, pendidikan teoritis menurut hemat penulis sudah final. Hampir setiap hari selama 24 jam santri digembleng dengan aneka kajian teoritis, baik dalam kajian kitab klasik seperti ilmu tafsirŘŚ tafsir, ilmu hadis, hadis, ushul fiqh, fiqih, kaidah bahasa, dan lainnya. Sistem pendidikan pesantren tidak cukup bila memfokuskan teoritis. Lebih dari itu, kurikulum yang ditawarkan pesantren memiliki kelebihan dibanding dengan sekolah formal, yakni pendidikan berbasis praksis. Pesantren mampu mengkombinasikan pendidikan teoritis dan praksis. Diantara model pendidikan praksis yang dikembangkan ialah pembelajaran praktik jenazah. Dalam kurikulum pendidikan madrasah, pondok pesantren terpadu al Kamal mengagendakan ujian akhir madrasah dengan praktik jenazah. Ujian tersebut dikhususkan bagi tingkatan wustha atau MDK (madin khusus). Ujian seperti ini sangatlah penting. Guna mengembangkan wawasan santri dalam proses mengurus jenazah. Pendidikan ini merupakan lanjutan dari pendidikan teoritis, yakni kajian kitab fiqh, atau dalam dunia pesantren terkenal dengan kajian kitab fatkhul Qarib (jenjang aliyah). Setelah kajian teoritis khatam, tentu bila tidak ditabrakkan dengan berbagai kasus di lingkungan masyarakat, wawasan santri hanya sekedar dalam ruang lingkup teks (tekstualis). Berbeda dengan kajian praksis, santri mampu mengkontekstualkan kajian teks dalam kehidupan sosial. Praktik jenazah merupakan solusi untuk menambah wawasan santri dalam ilmu hal.
Apabila kita menoleh keadaan di lingkungan masyarakat. Kita pasti menemui tetangga yang meninggal, sebagai tetangga yang shalih seharusnya beraprtisipasi untuk berta'ziyah. Dalam kasus ini, kita pasti menemukan bagaimana cara mengurusi jenazah. Tanpa ilmu pesantren, proses mengatasi urusan jenazah pasti gelabakan. Santri sebagai agen of change memiliki peran penting dalam menuntun masyarakat cara beragama yang benar. Aturan-aturan Agama apabila dipegang oleh pakarnya, maka Islam terkesan indah. Sebaliknya, bila Islam sampai dipegang selain pakarnya, Islam terkesan kaku dan keras.
Pendidikan cara mengurus Jenazah merupakan bentuk keshalihan sosial, yang dibina untuk melayani masyarakat. Mengurus jenazah harus melalui prosedur fiqh, diantaranya memandikan, mengkafani, menshalati, dan menguburkan. Bila ilmu ini tidak dipahami, baik secara teoritis dan praksis, maka jalan terakhir ialah menyerahkannya kepada modin (sapaan bagi tokoh Agama masyarakat sekitar). Namun, kita sebagai keluarga ataupun sesama mahram, seharusnya perlu untuk mengetahui tata cara mengurus jenazah. Pesantren telah mempersiapkan bekal untuk para santri. Bisa jadi, walaupun pada nantinya tidak menjadi tokoh Agama di lingkungan rumah masing-masing, paling tidak ilmu yang telah didapatkan diimplementasikan untuk diri-sendiri maupun keluarga.
Dalam ujian ini, santri juga mendapat arahan dari penguji pasca praktik selesai. Arahan yang paling penting terkait kasus yang muncul di masyarakat diantaranya proses memandikan jenazah. Posisi yang dimandikan seyogyanya sesuai pedoman-pedoman fiqih, yakni posisi jenazah dibagian kepala kalau bisa lebih tinggi ketika dibaringkan. Guna berfungsi untuk menghilangkan sisa-sisa najis yang ada dalam tubuh. Apabila kotoran yang ada dalam tubuhnya tetap tidak keluar, maka posisi kepala mayit diangkat dan kemudian posisi tangan kiri memijat (mengurut) perut jenazah. Hal ini bukan berarti sengaja untuk mempermainkan si mayit, melainkan untuk mengeluarkan kotoran dari dalam tubuh. Ini penting, karena untuk menyucikan si mayit.
Berdasarkan arahan penguji, orang yang memandikan jenazah juga tidak ngawur (seenaknya sendiri). Harus sesuai dengan pendapat empat mazhab dalam fiqh. Berhubung masih tingkatan wustho, santri hanya ditekankan pendapat Imam Syafi'i. Dalam mazhab ini, seorang laki-laki boleh memandikan mayat laki-laki dan perempuan boleh memandikan mayat perempuan. Sedangkan, suami juga boleh memandikan mayat istrinya. Sebaliknya, istri juga boleh memandikan mayat suaminya. Pendapat ini juga disepakati oleh jumhur ulama'. Namun, bila ada masalah nyleneh (aneh) bila mendapati jenazah perempuan dimana orang yang hidup dilingkungannya mayoritas laki-laki (tidak ada perempuan), bahkan sebaliknya. Sedangkan antara si jenazah dengan orang yang masih hidup tidak ada hubungan suami istri, maka mazhab ini dilarang untuk dimandikan dengan air, melainkan cukup dengan tayamum.
Praktik jenazah sesungguhnya menunjukkan kesungguhan pesantren, apabila santri memang disiapkan betul sebelum pulang dari rumah. Kajian praksis jauh lebih penting ketimbang teori. Suatu saat nanti entah kapan, mereka akan menemukan masalah-masalah baru dilingkungannya masing-masing. Kajian praksis hanya sebagai pondasi dasar, selanjutnya santri harus mengembangkan sendiri sesuai situasi dan kondisi lingkungannya. Pondasi dasar yang kuat kala ditabrakkan dengan situasi yang berbeda, santri tentunya harus mahir dalam mengambil pendapat. Hemat penulis, santri jangan terlalu kaku dalam menyikapi masalah yang dihadapinya. Pesantren sendiri tidak mengajarkan tentang Islam yang keras. Perlu diketahui, ada aspek thariqah santri tidak sependapat dengan guru (kiai). Dikarenakan lingkungan yang berbeda, yakni aspek dirasah (kajian). Perbedaan pendapat antara guru dan murid tidak masalah bila mengambil aspek ini. Dengan alasan, aspek ini sesungguhnya telah diamalkan oleh ulama' mazhab. Tanpa perbedaan antara guru dan murid, maka tidak akan lahir mazhab-mazhab. Berbeda dengan aspek wirasah (ilmu yang mewarisi). Jangan sampai dalam hal hubungan bathin antara guru dan murid berbeda pendapat. Aspek ini sesungguhnya melihat guru sebagai mursyid. Sehingga kita secara totalitas sam'an wa athaan. Dalam kasus mengurus jenazah, langkah yang baik ialah dengan menggunakan aspek dirasah. Perbedaan pendapat dikarenakan santri dihadapkan dengan background latar belakang lingkungan yang berbeda-beda.
Pendidikan praktik jenazah memberikan manfaat bagi santri. Selain itu, kajian ini menunjukkan eksistensi kurikulum pendidikan santri lebih gagah. Suatu ilmu akan lebih gagah dan berkembang apabila dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Darinya, kita bisa mengambil pelajaran bila suatu ilmu pasti membutuhkan pengamalan. Untuk itu, semakin kita dihadapkan suatu masalah, ilmu semakin bertambah, dan kita juga lebih dewasa dalam menyikapinya. Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar