By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi
Di era modernisasi, teknologi manusia semakin berkembang pesat. Manusia dengan mudah mengakses segala kebutuhan hidup. Namun, dibalik perkembangan zaman, ternyata bisa berdampak kemunduran dalam hal perikemanusiaan. Kini, mayoritas masyarakat lebih disibukkan dengan hal materialistik tanpa memperdulikan kehidupan bermasyarakat. Sifat manusia yang sesungguhnya mulai sirna, hanya mementingkan egoistik dan individualistik. Yang jelas, kemiskinan antar sesama manusia semakin merajalela. Wolak-walik ing zaman di era modernis bisa dibilang semakin membuta. Maka tak heran, falsafah Jawa yang dilontarkan oleh leluhur memang benar-benar terjadi.
Akibat wolak-walik ing zaman, pemikiran orang desa menjadi semakin berubah. Dahulu erat dengan kebersamaan, kerukunan, dan gotong-royong, sekarang sudah mengikuti gaya masyarakat perkotaan. Maka tak heran falsafah Jawa mengatakan,"kutha mlebu alas". Falsafah tersebut bukan berarti bermakna kota masuk ke hutan belantara. Tentu makna tersebut bukan yang sesungguhnya. Ada makna yang tersembunyi didalamnya. Apabila dikelupas secara tekstual, kata "kutha" bisa bermakna kota, budaya, suasana, atau isi kota. Sedangkan "alas" bisa bermakna hutan belantara, budaya penghuni hutan, suasana hutan, dan serta isi hutan (Gesta Bayuadhy: 2014: 120).
Adapun bila ditinjau dari segi kontekstual, kata "kutho" merupakan kehidupan yang semakin jauh dengan alam. Hutan-hutan yang lebat semakin langka, akibat penebangan pohon secara liar untuk dijadikan apartemen, atau bangunan-bangunan tinggi. Selain itu, kehidupan yang serba modern. Industri-industri semakin meraja lela, sehingga hewan dan tumbuhan tidak akan nyaman hidup dalam lingkungan tersebut. Sedangkan kata "alas" bukan berarti hutan belantara. Makna tersebut bisa berarti pedesaan. Dengan alasan, pedesaan merupakan kehidupan yang serba memanfaatkan kekayaan alam, seperti tumbuhan dan hewan. Suasana masih sunyi, serta masih asri dengan pohon-pohon yang lebat. Industri-industri perusak polusi udara juga sangatlah minim. Maka tidak heran apabila leluhur mengistilahkan "alas" dengan masyarakat pedesaan yang masih berinteraksi dengan alam.
Kutha mlebu alas merupakan makna dari orang kota masuk ke pedesaan. Makna ini sangat luas, bisa berarti orang kota sengaja memasuki desa untuk mempengaruhi kehidupannya. Apabila menjadi orang kota jauh lebih maju daripada orang desa. Kehidupan menjadi modern, bangunan-bangunan menjadi lebih megah ketimbang orang desa. Selain itu juga, mereka sengaja mempengaruhi orang desa untuk mencoba mengeksploitasi hutan dengan tujuan ekonomi. Mereka mengiming-iming sejumlah uang yang besar untuk membujuk penduduk desa supaya bisa diajak bekerjasama membangun proyek besar-besaran di desa. Tujuan mereka sesungguhnya ingin mendapatkan untung sebesar-besarnya. Dengan menghalalkan segala cara, hutan yang dulunya masih murni dengan kelestariannya dirusak. Eksploitasi hutan tanpa memperdulikan nasib tumbuhan dan hewan di alam sekitar mengakibatkan kehidupan mereka terganggu, sehingga sedikit demi sedikit akan punah. Maka tidak heran bila bencana seperti longsor, banjir, dan pencemaran udara sudah memasuki pedesaan.
Wolak-walik ing zaman tidak sampai disini, orang Jawa juga meramalkan nasib zaman yang semakin edan. Suatu saat, selain "kutha mlebu alas, alas juga mlebu kutha". Begitulah leluhur memprediksi nasib zaman ini. Maksud dari "alas mlebu kutha" bukan berarti setelah hutan-hutan di pedesaan dirusak oleh orang kota, orang desa masuk kota. Makna ini jauh lebih mendasar."Alas mlebu kutha" bisa ditafsirkan secara non-fisik. Ramalan yang menandai wolak-walik ing zaman ialah suatu saat hukum rimba (alas) akan memasuki kota. Seperti yang kita tahu, makna "alas" juga bisa bermakna hutan belantara. Artinya, hutan belantara pasti ada penghuninya, diantaranya hewan. Dalam aturan undang-undang penduduk hutan, siapa yang paling kuat akan menjadi pemenangnya. Tentunya sang pemenang akan menjadi penguasa. Begitulah peraturan yang berlaku di hutan belantara. Hukum tersebut dikenal dengan hukum rimba. Hukum tersebut dijalankan oleh para bintang. Namun, bila dikaitkan dengan falsafah "alas mlebu kutha", tentu sangatlah sesuai sengan keadaan sekarang ini. Dengan segala cara, manusia akan berbuat semaunya sendiri. Tanpa memperdulikan mana yang halal dan mana yang haram. Mereka mencampur adukkan aturan tersebut. Hingga untuk mencapai suatu tujuan, konsep kekerasan akan dilakukan. Maka tidak heran, di era ini sudah diterapkan hukum tersebut. Mereka yang memiliki anggota, uang, dan senjata, sanggup untuk menduduki kekuasaan. Tanpa memperdulikan aturan-aturan hukum negara. Hukum rimba yang berlaku di era sekarang sangatlah sesuai. Sosok bertangan besi, otoriter semakin meraja lela. Bahkan mereka berani nekat untuk memberontak. Mereka berani menanggung konsekuensi mengalami nasib celaka hingga tujuh turunan, karena demi memperoleh kekuasaan.
Wolak-walik ing zaman di era sekarang sudah meraja lela. Dari "kutha mlebu alas, alas mlebu kutho" sudah benar-benar terjadi. Sebagai manusia yang beradab, tentunya falsafah ini digunakan sebagai bahan muhasabah, apabila hidup di dunia hanya mengejar materialistik tanpa memperdulikan nasib antar sesama manusia, maka kehidupan kita tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila manusia hidup sesuai rahman dan rahimnya Allah, maka manusia akan mendapatkan ketentraman dan keharmonisan. Wallahu a'lamu
Joss niki pepeling gesang...kito
BalasHapusNggih mas woko.,, Leres
BalasHapus