Langsung ke konten utama

MOMENTUM KEMERDEKAAN, GENERASI, DAN DEKADENSI MORAL





By Muh. Imam Sanusi Al Khanafi

Di Bulan 17 Agustus, merupakan momen bersejarah bagi penduduk Indonesia. Seluruh bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke secara serentak memperingati hari kemerdekaan negara republik Indonesia. Bila kita menengok kebelakang, para pendiri bangsa ini telah mengorbankan fikiran, dan jiwa raga mereka untuk mewujudkan sebuah negara yang merdeka, maju, dan berdiri secara kokoh. Tentu pengabdian dan pengorbanan mereka menjaga tanah air  tidak semudah di era sekarang. Nyawa menjadi taruhan, demi menjaga negara yang tercinta agar tidak dijajah oleh negara lain. Akankah kita melupakan semua jerih payah yang dilakukan oleh pahlawan kita ? tentu sangat disayangkan apabila generasi kita tidak peka dan respect dengan hari kemerdekaan ini.


Namun, cara memperingati kemerdekaan tidak harus berfoya-foya dengan aneka pagelaran yang justru menimbulkan rasa sedih bagi leluhur kita. Seperti yang kita lihat di era sekarang, masyarakat lebih memilih mengadakan kegiatan yang sesungguhnya kurang mendidik, diantaranya karnaval yang terlalu bebas, yang dibalut dengan sound system yang ogal-ogalan. Tidak hanya itu, karnaval yang seharusnya dijadikan momentum menghormati pahlawan, dengan menggunakan kostum perjuangan, justru dirusak dengan aneka kostum yang merusak nilai-nilai dan moral generasi. Kegiatan baris-berbaris yang dilakukan diberbagai tingkatan sekolah, dengan menampilkan kegiatan yang disipilin, pakaian rapi, dan penuh kewibawaan mulai kurang eksis. Justru aneka kostum yang seksi, kurang mendidik,dengan bingkai euforia yang berlebih-lebihan, lebih dinikmati oleh generasi muda.


Berbagai aneka kasuistik di bulan kemerdekaan ini, secara tidak langsung bisa mengakibatkan generasi kita makin terpuruk, kualitas generasi akan menurun secara drastis. Kita seharusnya mulai berbenah diri, bila momen ini dibungkus dengan aktifitas yang kurang mendidik, tidak bermoral, dan menurunkan derajat leluhur kita. Hemat penulis, momen ini seharusnya dimanfaatkan untuk aktifitas yang mendidik, bermoral, dan spiritualis. Namun, kita secara tidak sadar masih dijajah oleh nafsu diri sendiri. Tantangan dan rintangan era sekarang sudah mulai membabi buta, ancaman dekadensi moral dan hilangnya rasa perikemanusian juga semakin mengakar akibat derasnya perubahan zaman.


Di bulan kemerdekaan ini merupakan momen untuk memperketat benteng diri kita dari maraknya dekadensi moral, yakni dengan meningkatkan kualitas kita dengan bertaqwa, berilmu, dan berkarya.  Bertaqwa, dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkan dari kecauan, keburukan dan kezliman. Berilmu untuk mensinergikan ketaqwaan. Sangat aneh bila bertaqwa tanpa diimbangi dengan ilmu. Dengan ilmulah bisa memudahkan kita dalam menciptakan shalih secara personal dan sosial. Sedangkan, berkarya merupakan sarana untuk mengabdikan dan mengabadikan diri supaya tetap dikenang oleh generasi-generasi selanjutnya. Ingat, semua pahlawan pendiri bangsa dan negara memiliki karya. Kita sebagai generasi penerus seharusnya melanjutkan estafet perjuangan generasi sebelumnya dengan menggelorakan pembaharuan dan terus berkarya. Tentu, pembaharuan dan karya yang positif.


Dengan ketaqwaan, ilmu, dan karya yang bersinergis, maka bangsa dan negara ini akan menciptakan generasi-generasi yang berkualitas. Dengan ilmu dan taqwa, hidup bisa terarah, dengan karya hidup menjadi lebih indah. Ditambah lagi, dengan berkembangnya teknologi mutakhir justru memudahkan untuk mengembangkan kreatifitas pada diri kita.


Bangkitkan momentum kemerdekaan ini dengan aktifitas yang positif, untuk kemashlahatan dan kemanfaatan sesama manusia, bangsa dan negara. Hilangkan perkara-perkara yang menimbulkan mafsadat. Seperti dalam kaidah fiqh,”Dar’ul mafasid aula min jalbil mashalih,” yang artinya mencegah kerusakan lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan. Jika kaidah ini diimplementasikan dengan momentum ini, lebih baik agenda-agenda yang menimbulkan mafsadat lebih diutamakan ditangkal, daripada berusaha meraih kebaikan dengan mengerjakan agenda yang diminati masyarakat, sementara dibalik agenda tersebut kita mengaibaikan terjadinya kerusakan. Wallahu a’lam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...