By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Perempuan merupakan makhluk yang mulia. Perempuan dalam perspektif Islam disebut Muslimah. Dalam al-Qur’an, ada beberapa keistimewaan huruf ta' marbutah yang berasal dari kata Muslimah, diantaranya ialah unsa (lihat: Qs. Al Hujurat: 13). Dalam Mujam Mufradat alfadz al-Quran, kata unsa menunjukkan sifat perempuan, yakni lemah lembut (Ibn Faris: 67). Dalam Mujam Maqayis al-Lughah, kata unsa menunjukkan makna kodrat manusia (Raghib ash-Fahani:158). Sedangkan dalam kamus al Bisri, kata unsa menunjukkan makna perempuan (Adib Bisri, Munawwir: 17). Dari ketiga ta'rif tersebut jelas, apabila Allah memberikan kodrat perempuan untuk bersikap lemah lembut. Artinya, lemah lembut yang dikhususkan kepada perempuan memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Adapun kekhususan yang hanya dimiliki oleh perempuan, yaitu pertama, perempuan bisa mengandung. Karena perempuan memiliki rahim. Kedua, perempuan bisa melahirkan. Ketiga, perempuan bisa menyusui, atau memiliki ASI. Dari ketiga hal tersebut memberikan gambaran, bila kekhususan yang diberikan-Nya sesungguhnya bertujuan untuk mendidik anaknya. Seorang ibulah yang pantas memiliki kriteria tersebut, guna mentarbiyahkan anaknya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Betapa tidak, selama sembilan bulan, ia dengan tangguh dan sabar merawat kandungannya, agar bayi yang dikandungnya dalam kondisi sehat wal afiyah. Walaupun di tengah-tengah aktivitasnya yang begitu padat, ia secara kontinuitas memerankannya sebagai Ibu rumah tangga yang bertanggung jawab. Tidak hanya itu, disaat melahirkannya pun berani mempertaruhkan nyawanya demi si Jabang Bayi. Maka tak heran, disaat nyawanya tak terselamatkan, Nabi SAW menghadiahkan surga untuknya. Hal ini sesuai dalam kitab Jami' al Masanid wa Sunan,
والنفساءُ يجُرها ولدها بسُرره الى الجنة
"Dan wanita yang mati karena nifas, dia akan ditarik oleh anaknya menuju surga dengan tali pusarnya." (Baca: Ibn Kasir:681)
Hadis di atas menunjukkan bentuk apresiasi pengorbanan seorang Ibu. Perjuangannya mendidik anak tidak bisa terbayarkan dangan hal materialistik. Di kala merawat bayi, orang yang paling kuat dan istiqomah bersamanya hanyalah seorang ibu. Seorang bapakpun kurang begitu yakin bertahan selama 24 jam non stop bersamanya. Apalagi disaat si jabang bayi merengek-rengek. Siapa lagi yang mampu mengatasi persoalan tersebut, pasti jalan terakhir ialah tetap dipangkuan seorang ibu. Maka tidak heran, kala anak menjadi dewasa hubungan antara ibu dan anak tidak bisa terpisahkan. Walaupun anaknya pergi dimanapun berada, bathin seorang ibu tidak mampu dikalahkan oleh seorangpun.
Pendidikan Ibu sangat menentukan masa depan anaknya. Kita ambil contoh disaat Ibu memasrahkan anaknya di pesantren. Apabila hati dan fikiran gelisah karena memikirkan kondisi anaknya, tentu akan berimbas kepada ketenangan dan ketentramannya dalam thalabul ilmi. Sebaliknya, bila ibu memasrahkan secara totalitas jiwanya kepada Allah, maka Allah akan memudahkan anaknya dalam thalabul ilmi. Ini sepele, namun naluri seorang ibu sangatlah mempengaruhi masa depannya. Karena anak merupakan sepotong buah hati dari orang tua.
Maka dari itu, apabila ibu menginginkan anaknya sukses jangan sekali-kali melontarkan kata-kata jelek kepadanya. Sebaliknya, anak juga harus berhati-hati terhadap ucapan yang dilontarkannya. Karena setiap ucapan yang dilakukannya ialah doa. Allah SWT mengabulkan setiap do'anya. Dalam kitab at-Tanwir syarah jami' ash saghir dijelaskan,
رضا الله في رضا الوالدين وسخطه في سخطهما
"Ridha Allah tergantung ridha kedua orangtuanya dan murka Allah tergantung murka keduanya." (Ash-shan'ani, juz 6: 257)
Hadis di atas menunjukkan keistimewaan orang tua, apabila jangan sekali-kali membangkang perintahnya, khususnya seorang ibu. Murka seorang ibu merupakan bentuk murka kepada-Nya. Patuhilah semua perkataannya, senyampang perkataan tersebut tidak menyimpang dalam ajaran Islam. Sering kali ibu bersikap cerewet kepada anaknya. Bentuk kecerewetannya bukan berarti benci, melainkan bentuk perhatian dan kasih sayang terhadap anaknya. Ibu tidak mungkin menjerumuskannya ke lubang kesengsaraan. Sebaliknya, ia justru menginginkan anaknya sukses di dunia hingga akhirat.
Sebagai anak, seharusnya sadar atas perjuangan yang diberikan olehnya. Bukan berarti melalaikannya. Bukan juga kita berfikir, memang itu sudah tanggung jawabnya. Mind seat seperti ini sebetulnya perlu diluruskan. Di era modern, masih ada anak yang menelantarkan ibunya. Mereka sudah terbelenggu ke dalam jurang kenikmatan duniawi. Ibu yang sudah tidak berdaya dikiranya menjadi kotoran dalam kehidupannya. Mereka menganggap ini sebagai beban hidup. Sehingga kehidupannya terasa tidak nyenyak karena harus berurusan dengan ibu yang tak berdaya. Kasus ini perlu dijadikan sarana muhasabah. Ingat, kita dibesarkan untuk membahagiakannya. Walaupun sesibuk apapun, tidak ada kata belum sempat untuk menjenguknya. Seyogyanya diperlukan jadwal khusus untuk menghabiskan waktunya bersama ibu. Entah memijatnya, membantu aktivitas yang sekiranya bisa meringankan pekerjaan ibu. Itulah bentuk kesalehan anak kepada ibu. Sebagai anak, seyogyanya menyerahkan secara totalitas jiwanya untuk kebahagiaan orang tua. Jangan sampai memancing amarahnya, membuat orang tua bangga merupakan tujuan utama.
Penulis masih teringat, apabila perkataan jelek seorang ibu bisa menjadi petaka bagi anaknya. Masih ingatkah kisah Juraij si ahli ibadah, ia lebih mementingkan ibadahnya daripada memenuhi panggilan yang diucapkan oleh ibunya. Bahkan sampai tiga kali ucapan yang diberikannya, ia dengan santai tetap menjalankan ibadahnya. Maka saat itu pula, ibunya berdo'a kepada Allah apabila ia tidak akan mati sebelum wajahnya dipertontonkan di depan pelacur. Sungguh dasyat doanya, perkataan yang dilontarkannya diterima Allah. Ia difitnah oleh pelacur apabila kandungan yang di dalam perutnya merupakan anak dari Juraij. Padahal, ini adalah skenario Allah untuk Juraij. Supaya Juraij sadar akan kesalahan yang diperbuatkan-nya. Merasa bersalah, Juraij akhirnya sadar akan keramatnya ucapan seorang ibu. Pada akhirnya Allah meluruskan skenario yang dibuat-Nya. Itulah hebatnya ucapan seorang Ibu. (Baca: Ibn Usaimin, juz 3: 68)
Anak merupakan investasi orang tua, jangan sampai disaat sukses justru meninggalkannya. Kesuksesan tercipta bukan hasil jerih payah sendiri. Melainkan hasil riyadhah dari seorang ibu. Penulis yakin, riyadhah ibu sangatlah menentukan kesuksesan anaknya. Tak heran, bila terdapat kata bijak yang menyatakan, riyadhah ibu menentukan masa depan anaknya. Pernyataan demikian menurut hemat penulis begitu relevan di era modern ini. Walaupun tindak-tanduk anak kepada ibu di era ini sudah mulai tergerus oleh zamannya. Akan tetapi, kekeramatan ibu kepada anak hingga kini masih tetap kuat.
Sebagai anak yang shalih, jangan sampai meninggalkan masa-masa tuanya. Di masa itu, anak seharusnya berperan penting merawatnya layaknya ibu mengasuh anaknya. Inilah peran anak yang sesungguhnya. Suatu saat, ibu yang dulunya gagah dan perkasa pada akhirnya akan menjadi seperti bayi. Sedangkan anak pada akhirnya akan menggantikan perannya sebagai perawat ibunya. Di saat meninggal pula, ia berharap kepada anaknya setelah shalat maktubah untuk menyempatkan diri mengirimkan doa khusus untuk dirinya. Inilah skenario Allah, orang tua mencetak generasi waladun shalihun (anak shalih) supaya kelak dimasa tua bisa memetik hasilnya. Wallahu a'lam bi ash-shawab
Komentar
Posting Komentar