Oleh. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Di Bulan Ramadhan, amaliyah – amaliyah yang digunakan untuk meningkatkan kualitas ibadah banyak sekali. Diantara sarana mendekatkan diri kepada Allah ialah dengan ta'lim wa taalum. Di momen bulan penuh rahmat dan berkah ini, saya sempatkan untuk mengkaji kitab jawahirul adab karangan Kyai Nawawi Bulumanis, Juwana, Pati, Jawa Tengah.
Kitab ini sangat penting untuk diulas kembali di era serba modern. Dengan dalih alasan banyak sekali pelajar-pelajar khususnya di daerah saya yang masih gersang dengan standar adab dan akhlak. Berbeda dengan di pesantren, budaya santun santun mulai tingkat ula, wustho, ulya, hingga mahad aly sudah dijadikan makanan sehari-hari oleh kalangan santri. Namun berbanding terbalik kepada pelajar yang tidak memiliki latar belakang pesantren. Saya mencoba memberikan wawasan melalui kitab ini kepada para pelajar, agar senantiasa menumbuhkan sikap sopan santun kepada guru, orang tua, dan sesama manusia.
Kitab ini pada dasarnya hanya menjelaskan tata cara tindak-tanduk murid kepada guru dalam thalibul ilmi. Hemat saya, kajian ini bisa diterapkan secara luas. Tidak hanya terfokus pada gurunya saja, namun bisa berdoa untuk seluruh ciptaan Allah. Manusia apabila hatinya ditanamkan tata krama, insya Allah dalam berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam selamanya berdampak positif. Karena tata krama merupakan pondasi yang harus ditanamkan dalam menjalankan kehidupan dunia. Supaya manusia bisa menciptakan ukhuwah insaniyah, Islamiyah, dan wathaniyah.
Kitab ini memuat bait-bait syair yang berjumlah tiga puluh tujuh dengan aneka ragam pembahasan adab dan akhlak. Adapun satu bait terakhir sebagai penutup kajian ini. Nadham-nadham yang dikarang Kyai Nawawi walaupun cukup ringkas, namun pembahasannya begitu padat akan menjadi makna yang dikandungnya. Pembahasan ringkas ini dengan maksud agar para thalibul ilmi mudah mengingat dan menghafal pesan-pesan tata cara beradab dan berakhlak.
Dalam kitabnya, kyai mengawalinya dengan lafadz bismillahi ar Rahmani ar Rahim . Seorang muallif kebanyakan menyebutkan lafadz ini dalam kitabnya. Ada kandungan penting yang tercantum di dalamnya. Dalam kitab sittin masalah (Ahmad al-Mihi asy-Syibini: tt: 6) dijelaskan, “ Segala perkara perihal kelakuan atau aktifitas yang tidak diawali dengan bismillahi ar rahmani ar rahim maka kurang berkah.” Artinya, segala aktivitas yang dijalankan kurang berkah apabila tidak diawali dengan membaca basmalah. Tentunya muallif mengajarkan kepada kita, khususnya dalam muthalaah untuk membiasakan diri dengan membaca basmalah, agar ilmu yang dikaji senantiasa diberkahi dan diridhai oleh Allah.
Setelah lafadz basmalah langsung dipaparkan umpan pertama. Dalam umpan tersebut dijelaskan, apabila Allah merupakan murabbi yang mengajarkan akhlak. Dikarenakan manusia tidak sama dengan hewan. Artinya, sesungguhnya Allah sudah mengajarkan tindak-tanduk kepada makhluk yang dikaruniai akal. Sedangkan manusia itu berbeda dengan hewan. Manusia merupakan makhluk yang mempunyai martabat. Jika manusia sendiri tidak mau menjalankan tarbiyah dari apa yang diajarkan-Nya, maka sama saja manusia itu dengan hewan.
Dalam umpan kedua dan ketiga, Allah telah mentarbiyahkan dengan sifat rahman dan rahim-Nya. Dengan rahman-Nya, tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya. Walapun manusia itu ingkar kepada-Nya. Allah tetap memberikan rahmat-Nya. Supaya manusia bisa muhasabah dengan apa yang selama ini dilakukannya. Allah juga memiliki sifat rahim yang diperuntukkan bagi orang yang sudah Ikhlas dalam menjalankan printah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Untuk menanamkan sifat rahman dan Rahim-Nya Allah kepada manusia, diutuslah seorang nabi yang telah ditentukan namanya, yakni Muhammad saw yang diutus untuk menyempurnakan akhlak. Artinya, nabi dalam mengajarkan Islam sangat mementingkan tata krama. Beliau tidak mengajarkan secara teoritis, namun juga aplikatif kepada umatnya. Salah satu yang dipraktikan oleh nabi yakni dengan mengawali adab dan akhlak dari diri sendiri, keluarganya, sahabatnya dan umatnya. Pada akhirnya metode tarbiyah yang diterapkan oleh nabi ini dijadikan panutan oleh kalangan umat muslim.
Dalam bait ke empat dijelaskan, adab merupakan bagian dari agama. Jika adab yang digunakan pilar agama rusak, maka rusak pula manusia yang ada di dunia. Maka dari itu tugas seorang murabbi (pendidik) harus mengarahkan kepada muridnya untuk mendalami, menanamkan, dan melatihnya untuk mengubah karakter dari yang tidak beradab menjadi beradab. Pendidikan karakter harus benar-benar dikuatkan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh nabi muhammad saw. Tentu saja sinkronisasi antara pendidik, murid, dan orang tua sama-sama mensuport dan menerapkan tarbiyatul adab. Wallahu a'lamu bi ash shawab
Komentar
Posting Komentar