Langsung ke konten utama

Edisi Ramadhan (4): Tata Cara Menuntut Ilmu dalam Kitab Jawahirul Adab

 

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi

Dalam edisi ngaji ke empat di Bulan Ramadhan, saya meneruskan ngaji bersama kitab jawahirul Adab di bait ke dua belas. Ada beberapa tata cara murid agar berhasil dalam menuntut ilmu, yakni murid harus mendengarkan dan mencatat apa yang diajarkan oleh guru. Tradisi mencatat jangan sampai ditinggalkan. Karena era sekarang bukan era di zaman nabi. Di era nabi memang terkenal era peradaban lisan dan periwayatan. Karena pada saat itu tradisi mencatat dianggap kurang eksis. Sahabat kebanyakan mengandalkan hafalannya dalam menyerap kajian yang diajarkan oleh nabi. Berbeda di era sekarang yang sudah beralih ke tradisi tulisan.

Masih dalam bait ke dua belas, ilmu itu seperti hewan. Apabila hewan itu tidak segera diikat, maka hewan itu akan lari. Sama seperti ilmu, apabila tidak diabadikan dalam bentuk tulisan, maka ilmu itu akan cepat hilang. Syekh Az Zarnuji (t.t: 38) dalam ta’lim wa muta’alim dawuh,

وينبغى أن يعلق السبق بعد الضبط والإعادة كثيرا,فإنه نافع جدا

“Dianjurkan kepada murid agar membuat ta’liq (catatan yang dibuat oleh murid sendiri) terhadap pelajarannya setelah hafal dan sering diulang-ulang catatan tersebut kelak sangat berguna.”

Adapun dalam bait ke tiga belas dijelaskan, murid dalam menuntut ilmu diharuskan dalam keadaan suci dari hadas najis. Agar aura-aura negatif seperti kantuk tidak cepat mengganggu konsentrasi dalam belajar. Ilmu itu nur, dan wudhu juga nur, maka nur ilmu menjadi semakin cemerlang. Biasanya, penerapan wudhu seperti ini sering diaplikasikan dalam tradisi pesantren. Selanjutnya, pelajaran yang sudah diajarkan dipahami dengan baik. Jangan sekedar hanya mendengarkan dan mencatat saja. Murid juga mengangan-angan ilmu dengan cara mengulang-ulang hasil pembelajaran di sekolahan. Agar ilmu bisa mengakar kuat dalam dirinya.

Dilanjutkan pada bait ke empat belas, seorang murid jangan sekali-kali membicarakan kecacatan gurunya. Dan menyebarkannya ke orang lain. Hendaklah murid menyembunyikan kecacatannya. Hal ini dikuatkan dalam pernyataan Syekh Az Zarnuji (t.t: 11),

ويتحرزعما فيه مذلة العلم وأهله

“Dan hendaklah pula menjaga diri dari hal-hal yang menghinakan ilmu dan ahli ilmu.”

Menyembunyikan kecacatan seorang guru merupakan bentuk penghormatan murid kepadanya. Semata-mata supaya ilmu yang didapatkannya diridhai oleh Allah. Guru merupakan orang tua kedua murid di sekolahan. Guru merupakan murabbi yang memperkenalkan ilmu dalam rangka untuk mengenal Allah, dan mendekatkankan-Nya. 

Sedangkan pada bait ke lima belas dijelaskan, murid tidak hanya ta’dhim kepada gurunya. Namun juga menghormati anak-anaknya dan keluarganya. Hal ini dikuatkan dalam kitab ta’lim wa mutaalim (Zarnuji: t.t: 19),

ومن توقيره توقير أولاده ومن يتعلق به

“Termasuk menghormati guru ialah menghormati anak-anaknya dan siapapun yang berkaitan dengannya.”

Begitulah diantara cara dalam menuntut ilmu. Hubungan murid dan guru jangan sampai terpisahkan. Sejelek-jelek guru tidak mungkin mendoakan muridnya menjadi orang yang gagal. Pasti akan mendorong murid-muridnya untuk meraih kesuksesan. Terserah murid ingin berubah atau tidak. Tergantung keyakinan dan kemauan diri seorang murid menjalankan tata cara dalam menuntut ilmu. Keberkahan hiduplah yang seharusnya dicari. Supaya selamat dalam kehidupan dunia hingga akhirat. Bukan semata-mata hanya fokus pada dunia materialistik. Wallahu a’lamu bi ash shawab

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...