Langsung ke konten utama

Edisi Ramadhan (5): Amaliah-amaliah Penuntut Ilmu dan Waktu yang dianjurkan dalam Kitab Jawahirul Adab

 


By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi

Di bulan Ramadhan ini, penulis melanjutkan edisi ke lima dalam kajian Jawahirul Adab. Dalam kesempatan ini, masih banyak amaliah-amaliah yang dianjurkan oleh ulama’ dalam menuntut ilmu. Tujuannya tidak lain supaya ilmu yang dicari tidak sekedar kulitnya, namun bisa didapat sampai ke akar-akarnya. Tentu ulama’ dahulu tidak instan dalam menciptakan amaliah ini. Berbagai proses telah dilaluinya. Maka tidak heran karya-karya yang dikarang masih eksis di era sekarang. Ulama dahulu tidak sekedar beretorika, namun juga telah mengalami fase-fase sulit dalam menuntut ilmu.

Dalam lanjutan materi sebelumya, penulis mengawali pada bait ke lima belas. Dalam bait ini,  kyai Nawawi menyarankan untuk menta’dzimkan ilmu dan sesama pencari ilmu.  Jangan mementingkan diri sendiri dalam thalabul ilmi. Ajaklah temanmu untuk berdiskusi, supaya ilmu yang sulit dipahami bisa diringankan dengan bahsu masail. Metode yang ditawarkan oleh kyai Nawawi sebetulnya sudah diterapkan di Pesantren. Bahkan tata cara memegang kitab saja sampai tidak lepas dari pengamatan guru. Selain itu, hasil kajian yang diajarkan oleh guru didiskuskan bersama teman sesuai kelompok yang sudah dibagi. Setelah itu baru diujikan di depan sesama murid untuk dipresentasikan dihadapan guru.

Pada bait ke enam belas, selain menghargai buku dan teman, alangkah baiknya ketika muthalaah dianjurkan dalam keadaan suci. Kyai Nawawi berkali-kali menyampaikan dalam baitnya tentang pentingnya muthalaah, baik di kelas ataupun di rumah dalam keadaan suci. Hal ini dengan maksud ilmu yang diserap mudah dicerna dan dipahami.  Adapun waktu efektif muthalaah dilaksanakan di waktu sepertiga malam. Waktu ini biasa digunakan ulama’ untuk tahajud ilmiah. Setelah bangun, alangkah baiknya melaksanakan shalat sunnah dan dilanjutkan muthalaah. Waktu ini memang begitu sulit dilakukan orang awam. Karena harus memaksakan dirinya untuk bangun disaat orang lain tidur lelap. Tentu membutuhkan kebiasaan.

Dilanjutkan bait ke tujuh belas dan delapan belas, selain memperbanyak muthalaah juga berdoa kepada Allah secara konsisten, baik ba’da shalat maktubah ataupun shalat sunnah. Setelah itu mengistiqomahkan untuk tadarus al Qur’an pada malam hari. Sebab, sumbernya ilmu berasal dari al Qur’an. Muthalaah tidak cukup tanpa berdo’a kepada-Nya. Sedangkan untuk mengasah otak supaya lebih tajam membutuhkan al Qur’an. Dalam tradisi pesantren, fadilah al Qur’an walapun hanya dibaca saja, belum dipahami dengan maknanya sudah berdampak positif bagi penuntut ilmu. Bahkan barangsiapa yang mendengarkan lantunan ayat al Qur’an diberikan Rahmat oleh Allah.

Dalam bait kesembilan belas dan dua puluh, para pencari ilmu juga dianjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada nabi. Karena membaca shalawat kuncinya memudahkan menuntut Ilmu. Selain itu, memperbanyak meminta ampunan kepada guru, orang tua. Allah akan memberikan barakah ilmu kepadanya.

Itulah beberapa bait amaliah-amaliah menuntut ilmu. Walupun dirasa berat untuk diterapkan, kita bisa mengawali dengan hal yang mudah terdahulu. Istiqomah yang memang harus ditekankaan. Semoga bisa menerapkan amaliah ini dengan baik. Wallahu a’lamu bi Ash Shawab

 


Komentar

  1. Terimakasih banyak untuk share ilmunya. Jadi tambah memahami hakikat menuntut ilmu tdk sekedar menelaah saja. Tetapi prosesnya harus diperhatikan. Apalagi proses pendekatan diri kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam mengkaji ilmu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL HADARI DAN SAFARI VERSI ASY-SUYUTI

By. Muh. Imam Sanusi al Khanafi Pembahasan mawathin an-nuzul dalam kajian ilmu-ilmu al Quran memang selalu menarik perhatian. Tanpa ilmu ini, tentunya akan sulit untuk mendeteksi kronologis turunnya ayat al Quran. Dari segi definisi, mawathin an nuzul merupakan suatu kajian yang membahas tentang waktu, tempat, dan berbagai peristiwa turunnya ayat al Qur'an. Karya fenomenal Jalaludin Asy-Suyuti, yang dikenal dengan kitab Ilmu Tafsir Manqul min Itmam Dirayah, merupakan maha karya yang di dalamnya menghidangkan berbagai khazanah ilmu untuk memahami al Qur'an. Menurut hemat penulis, kitab ini bisa dibilang merupakan karya yang diciptakan untuk menyederhanakan kajian yang berkaitan dengan ilmu al Qur'an. Tujuannya tidak lain supaya mudah diingat dan dipahami dengan baik. Hidangan yang ditawarkan juga tidak bermuluk-muluk. Beliau mampu menyeimbangkan antara teoritis dan praksis, artinya pembahasan yang diuraikan pasca  teori langsung menuju ke contoh-contoh. Hal ini juga dikuatk...

MEMBUMIKAN KAIDAH AD-DHARARU YUZALU DI ERA COVID-19

By. Muh. Imam Sanusi al akhanafi Dalam kajian qawaidul fiqhiyah, kita pasti mengenal qawaidul kubra, yakni suatu formulasi kaidah yang telah disepakati mayoritas mazhab. Qawaidul kubra sendiri merupakan kaidah dasar yang memiliki cakupan skala menyeluruh. Secara historis, qawaidul fiqhiyah tercipta setelah hukum fiqh. Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqh, ia ibarat seperti cucu (qawaidul fiqhiyah) dan kakek (ushul fiqh). Sedangkan ayahnya fiqh. Objek kajian dari qawaidul fiqhiyah ialah bersifat horizontal, antar sesama manusia. Berbeda dengan ushul fiqh, yang besifat vertikal, karena berkaitan dengan proses penggalian nash. Sehingga muncul produk hukum fiqh. Adapun qawaidul fiqhiyah yang tergolong dari qawaidul kubra, ialah al umuru bi maqasidiha, al yakinu la yuzalu bi as-syak, al musyaqqah tajlibu taysir, ad dhararu yuzalu, dan al adatu muhakkamah. Dalam kajian ini, penulis lebih terfokus pada kaidah ad-dhararu yuzalu. Kaidah ini bisa menjadi terobosan baru dalam mengatasi kegers...

Menyoal Pemahaman Hadis Kepemimpinan Perempuan

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis. Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menar...