By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Habermas
dikenal luas sebagai salah satu tokoh Mazhab Frankfurt. Mazhab ini merupakan
sebuah komunitas akedemisi intelektual bergengsi disebuah universitas di kota Frankfurt,
Jerman (Baca: Mazhab Frankfurt). Ia merupakan generasi kedua Mazhab Frankfurt
yang berhasil mengatasi kemacetan teoritis para pendahulunya dengan paradigma
baru, yakni paradigma komunikasi intersubyektif yang menempatkan proses saling memahami sebagai pokok bahasan
sentral. Paradigma ini dimaksudkan untuk mendapatkan metodologi kritis atas
pemikiran pendahulunya.
Pada
mulanya, ia mengkritik cara berfikir modernisme yang cenderung obyektif. Semua
makhluk di dunia ini diperlakukan sama, yaitu seperti obyek. Menariknya,
hubungan antara sesama manusia diasumsikan seperti benda. Misalnya, pembahasan
mengenai filsafat cinta. Dalam kerangka berfikir objektifisme, cinta itu bukan
soal rasa, cinta termasuk gejala kimiawi. Anehnya, apabila seseorang sedang
merasakan jatuh cinta, dalam dirinya sedang diproduksi hormon tertentu yang
menjadikan dirinya menggebu-gebu. Apabila hormon dalam dirinya habis, cinta
yang menggebu-gebu pada akhirnya sirna. Gonta-ganti pasangan merupakan cara
yang harus dilakukan untuk menghasilkan hormon. Tidak heran, rahasia dibalik
poligami diprediksikan mengikuti kerangka cara berfikir modernisme.
Kerangka
cara berfikir inilah perlu adanya dekonstruksi dalam mengatasi masalah ini.
Cara pandang terhadap manusia tidak bisa bersifat eksak dan matematis. Selain
itu, teori yang dihidangkan tidak mampu mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Teori-teori yang didengungkan cenderung melangit, sehingga tidak bisa
dibumikan. Apabila manusia diperlakukan seperti benda, tentunya akan mengalami
kebuntuan.
Dengan
pesimis, dan tidak mengatasi kebuntuhan yang terjadi, akibat kebanyakan teori
tanpa berimbas kepada masyarakat, Habermas memberikan sebuah solusi dalam
mengatasi masalah ini. Dalam pandangan Habermas terdapat semacam kekeliruan
mengenai gagasan yang ditawarkan oleh pemikir sebelumnya. Dalam memahami
sesuatu, baik dalam berinteraksi dengan manusia maupun alam, mereka tetap
dengan pola pikir obyektifasi. Apabila cara seperti ini tetap dipertahankan,
maka hasilnya akan tetap sama, tanpa ada perubahan. Cara memahami manusia tidak
se-sederhana itu, manusia itu kompleks.
Seharusnya,
ada beberapa tipe hubungan manusia yang perlu dipahami dalam memahami realitas,
diantaranya: 1) hubungan manusia yang menitikberatkan pada ilmu kealaman
(subyek-obyek), 2) hubungan manusia yang menitikberatkan pada ilmu sosial
(subyek-subyek),3) Hubungan manusia yang menitikberatkan pada dirinya sendiri
(subyek-itself).
Bagi
Habermas, berhubungan dengan sesama manusia tidak bisa disamaratakan. Hubungan
subyek dengan obyek hanya diberlakukan untuk kepentingan manusia dengan alam
atau benda. Misal: Manusia dengan secangkir kopi. Manusia bebas melakukan apa
saja yang diinginkan. Sebab, objek yang dituju pasif, tidak aktif. Manusia
bebas mempengaruhi secangkir kopi (obyek). Sebaliknya, secangkir kopi (obyek) tidak bisa mempengaruhi manusia (subyek). Artinya, kurang cocok
apabila subyek-objek digunakan dalam berinteraksi antar sesama manusia. Karena
dianggap lawan bicaranya hanya sebagai objek, benda, dan tidak aktif. Sehingga bisa
bebas mempengaruhinya dengan sesuka hati. Lebih pantas kalua subyek-obyek untuk
kajian kealaman.
Beda
kalau manusia berhubungan dengan sesama manusia (subyek-subyek). Manusia tidak
bisa melakukan segala pekara yang diinginkannya, layaknya seperti subyek-objek.
Sebab, objek yang dituju bukan benda atau alam, tapi manusia. Misal: Saya
berdiskusi dengan guru. Hubungan saya dengan guru tidak menjadikan saya sebagai
subyek dan guru sebagai obyek. Justru sebaliknya, bisa jadi guru menjadikan
dirinya subyek dan saya dijadikan sebagai obyek. Jadi, dalam berhubungan dengan
sesama manusia tidak subyek dengan obyek, akan tetapi subyek dengan subyek.
Manusia dengan manusia tidak secara muthlak mempengaruhi mitra bicaranya secara
sepihak. Justru antar sesama manusia saling mempengaruhi satu sama lain.
Sehingga muncul diskusi yang aktif dalam memecahkan sebuah masalah. Tipe ini
cocok dalam berinteraksi antar sesama jenis manusia.
Ada
lagi hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri (subyek-Itself). Rumus hubungan
antara keduanya tidak bisa dipahami sama seperti hubungan subyek–obyek atau subyek–subyek.
Karena hubungannya dengan dirinya sendiri, yakni terkait pemikiran, rasa,
cinta, dan imajinasi. Misal: keinginan untuk berbuat baik, pada hakikatnya
manusia sedang berhubungan dengan dirinya sendiri. Berhasrat untuk berkeinginan
untuk menjadi orang baik. Sehingga secara tidak langsung manusia sedang
berhubungan dengan nafsu yang ada pada dirinya. Subyek-Itself memang pantas
digunakan sebagai bahan muhasabah, sebelum diaplikasikan ke mitra bicara
(subyek-obyek). Artinya, berfikirlah sebelum bertindak. Dan mulailah diri-sendiri
sebelum menyuruh orang lain. Wallahu a'lam bi ash shawab
Mantap
BalasHapus