By. Muh. Imam Sanusi Al-Khanafi
Kartini merupakan salah satu pejuang emansipasi wanita yang memiliki jasa besar terhadap eksistensi pendidikan perempuan di Indonesia. Dari pengalaman hidupnya, yang selalu dikekang dengan kehidupan ala kolonial dan tradisi jawa. Sehingga, kehidupannya tidak bisa leluasa untuk berkarya layaknya seperti kaum adam. Kartini sendiri tergolong dari darah bangsawan dan santri. Dari keturunan ibunya, kakek dan neneknya merupakan seorang penganut Islam yang taat. Dari keturunan bapaknya, silsilah keturunannya sampai pada sultan hemengkubuwono VI. Barangkali ada yang menyangka bila ia merupakan kaum kejawen asli, atau dalam terminologi Gerrtz termasuk abangan. Anggapan demikian perlu dilanjuti dengan sumber yang lebih otoritatif.
Sejak kecil, kartini kecil dibesarkan dalam lingkungan tradisi
intelektual. Kakak kartini, Sosrokartono merupakan cendekiawan muda yang
kehidupannya kelak menjadi inspirasi Kartini untuk menjadi sosok wanita yang
berpendidikan. Di usia yang relatif muda, ia mulai mengenyam pendidikan di ELS
(Europese Lagere School). Di sekolah ini, ia berhasil menguasai bahasa
belanda, baik dalam bidang tulis-menulis maupun berbicara. Sejumlah buku-buku
berkelas dalam bahasa Belanda, seperti Roman-Feminis karya Nyonya Goekoop
de-Jong Van Beek, De Stille Kraacht (kekuatan Gaib) karya Louis Coperus,
dll dapat ia kuasai. Merupakan sebuah prestasi dan kebanggaan tersendiri
baginya bisa mendapatkan pendidikan tinggi, karena tidak semua kaum perempuan
Jawa bisa mendapatkan ilmu pengetahuan di sekolah tersebut.
Ketika sudah beranjak dewasa, Kartini harus tinggal di rumah untuk
menjalani masa pingit. Tradisi ini merupakan adat bagi bangsawan Jawa khusus perempuan
yang sudah siap untuk dinikahkan. Selama menjalani masa pingit, wanita tidak
boleh keluar sampai ada laki-laki yang mau melamar dan meminangnya. Selama
menjalani masa pingit, dialektika berfikirnya semakin tajam. Dengan menelaah
beberapa buku, majalah , dan Koran dari Belanda, ia mulai mengkritik budaya
Jawa. Perempuan Jawa bagi Kartini masih
terkungkung terhadap tradisi. Sehingga kebebasan perempuan cenderung stagnan.
Hal inilah yang membuat Kartini untuk menggerakkan kaum perempuan untuk maju. Berbagai
kritikan melalui tulisan tidak membuatnya jenuh, bahkan ia semakin haus mencari
berbagai referensi ilmu pengetahuan untuk mencari solusi dalam memajukan
derajat perempuan.
“Kartini merupakan perempuan yang memiliki wawasan luas, haus
akan ilmu pengetahuan. Berbagai fan ilmu, baik dalam bidang budaya, sosial,
emansipasi wanita, dan agama ia telaah untuk mendapatkan solusi dalam menghadapi
masalah yang dihadapinya (Taufiq Hakim:2016).”
Sebagai perempuan berdarah santri, ia juga mengkritik tentang agama
Islam di Jawa. Ia ingin mempelajari Islam lebih jauh lagi, sayangnya ada
keterbatasan dalam memahami Islam, yakni tidak menguasai bahasa Arab. Kartini
hanya bisa berbahasa Jawa dan Belanda. Selain itu, yang membuatnya jengkel
ialah kebijakan kolonial Belanda terhadap pelarangan penerjemahan al-Qur’an
dalam bentuk latin dan bahasa Jawa. Hal ini tidak menutup kemungkinan, Kolonial
ingin menjauhkan masyarakat Jawa dari Islam. Kesan Kartini terhadap Islam
semakin terpuruk kala dilarang oleh gurunya untuk bertanya mengenai isi kandungan
dalam al-Quran. Hal ini menjadikan Kartini semakin gelisah terhadap Islam di
Jawa. Baginya, membaca al-Qur’an ibadah, akan tetapi tanpa memahami maknanya
apa gunanya ?. Kritik Kartini memberikan semacam gebrakan baru untuk
merekonstruksi praktik keagamaan di Jawa. Hal ini menimbulkan semacam persepsi,
praktik keagamaan di Jawa hanya sekedar formalitas, dan hanya mengikuti alur
jalannya pembelajaran Agama, tanpa ingin memahami hakikat dari pembelajaran itu
sendiri.
Kritik Kartini tidak sampai disini, banyak orang memeluk Agama
Islam karena faktor keturunan, sehingga mereka belum mengetahui dari inti dari
beragama yang sesungguhnya. Pengalaman Islam yang dialaminya cenderung gersang,
sehingga untuk mencapai inti dari beragama belum didapatkan secara penuh.
Ketidakpuasan cara beragama masyarakat di Jawa menandakannya sebagai muslimah
sejati yang sangat ambisius untuk memperdalam ajaran Islam.
“Kritik
Kartini tentang agama bagaikan lonceng yang membangun kesadaran bagi praktik
keagamaan yang latah, hanya mempelajari Agama sekedar kulitnya, tanpa
menulusuri unsur-unsur yang ada di dalam ajaran Islam. Kegelisahan ini membawa
dirinya untuk mengkritisi pola keberagaman yang kala itu menjadi mainstream
(Taufiq Hakim:2016).”
Usaha
Kartini terbayar sudah kala tidak sengaja bertemu dengan Kiai Sholeh Darat.
Pertemuan antara Kartini dengan Kiai Sholeh Darat merupakan setingan Allah
untuk membuka pintunya dari kegelisahan menuju ketenangan, dari kegelapan
menuju cahaya. Pertemuan antara keduanya berawal dari adanya majlis ta’lim yang
berada di pendopo rumah Bupati Demak, yang kebetulan merupakan paman dari
Kartini. Sesungguhnya, tujuan utama Kartini hanya ingin berkunjung ke rumah
pamannya. Berhubung pamannya punya hajat, ia diajak untuk menikmati acara
tersebut. Kala pengajian dimulai, Kiai
Sholeh Darat sedang menjelaskan Isi Kandungan dari surah al-fatihah dengan
menggunakan bahasa Jawa, kemudian dijelaskannya dengan pelan-pelan kata demi
kata inti dari ayat yang terkandung didalamnya.
Ketika
Kartini menyempatkan untuk mengikuti pengajian sang Kiai, seakan-akan jiwa yang
timbul didalamnya tergugah untuk menikmati tafsiran tiap ayat yang terkandung
dalam surah al-fatihah. Ia tidak percaya ada tokoh agama dengan berani menjabarkan
secara gamblang makna yang terkandung didalamnya. Padahal, aturan otoriter dari
kolonial belanda terhadap penerjemahan ayat al-Qur’an begitu ekstrim. Tidak
masalah bagi Kiai dalam menghadapi kolonial Belanda. Ia memiliki strategi untuk
mensiasati politik darinya dengan metode pemahaman al-Qur’an bahasa Jawa.
Selain itu, metode bahasa Jawa merupakan langkah yang strategis untuk
mengajarkan pemahaman Islam terhadap masyarakat Jawa. ia melihat latar belakang
masyarakat bila mayoritas belum mengenal dan menguasai bahasa Arab. Andaikata
ia tidak mensiasati hal demikian, dalam memahami tiap makna yang terkandung
dalam ayat al-Qur’an, masyarakat awam semakin tidak memahami Islam.
Kartini
terkesan, kagum, dan bahagia. Pada awalnya begitu sinis dan mengkritik terhadap
pelarangan penerjemaham al-Qur’an dengan bahasa Jawa, sehingga al-Qur’an hanya
sekedar dibaca, tanpa memahami maknanya. Pola fikirnya berubah drastis dengan
semangat membara untuk lebih giat dalam memahami ajaran Islam. Perjumpaannya dengan
Kiai, ia menceritakan perjalanan hidupnya bila baru pertama kali mendengarkan
kata demi kata isi kandungan dalam al-Qur’an. Dengan pertemuan ini, mindseat
negatif terhadap tradisi al-Qur’an menjadi berubah. Konon, Kartini memiliki
inisiatif untuk meminta Kiai menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Supaya
masyarakat bisa memahami pesan-pesan kandungan dalam al-Qur’an. Dari sinilah
timbul anggapan secara umum bila Kartini menganjurkan sang Kiai untuk menulis
tafsir dalam bentuk bahasa Jawa.
Perjalanan
intelektual Kartini tentunya membangkitkan semangat para generasi muda,khususnya
perempuan untuk menjadi generasi yang kritis akan ilmu pengetahuan. Darinya
kita bisa mengambil nilai-nilai positif untuk selalu berusaha meningkatkan
kualitas hidup kita menjadi manusia yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain. Selain itu, menjadi generasi yang baik bila kita bisa
berkontribusi meneruskan perjuangan para pendahhulu kita, diantaranya keilmuan.
Komentar
Posting Komentar