By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Di hari raya Qurban, merupakan momentum bagi umat Islam untuk mengingat-ingat dan mengambil pelajaran Nabi Ibrahim, sosok Nabi yang sukses mendidik anaknya. Ia rela dan ikhlas mengorbankan anaknya (Ismai’l) demi perintah Allah Swt. Hal ini merupakan wujud totalitas rasa cintanya kepada Allah Swt. Dengan melawan egonya, untuk meninggalkan perkara duniawi menuju ukhrawi. Semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya.
Kisah Nabi Ibrahim menjadi spirit, sekaligus muhasabah bagi umat Islam. Bahwa pendidikan anak tidak cukup hanya mengejar kepentingan duniawi. Seringkali orang tua hanya terfokus pada anaknya nanti ingin jadi apa ! Pada akhirnya, orangtua akan mengejar ranking, profesi, gaji besar, dan diakui masyarakat. Secara tidak langsung menginginkan anaknya menjadi hebat di mata manusia.
Mind Seat pendidikan demikian perlu ditata ulang. Jangan sampai anak menjadi pelampiasan orang tua, karena masa kecilnya gagal, kurang dipuji orang, dirasa tidak berguna di mata keluarga hingga masyarakat. Pada akhirnya, anak menjadi ajang balas dendam untuk memperbaiki citra nama baik keluarga.
Berbeda dengan Nabi Ibrahim, mind seat pendidikannya tidak mengarah anaknya nanti jadi apa, tapi lebih terfokus anaknya nanti hidup untuk apa. Baginya, misi terbesarnya menjadikan anak untuk mengenal Allah Swt. Sehingga diajarilah ketaatan kepada-Nya, menanamkan nilai iman dan adab, menyiapkan bekal akhirat, dan menjadikannya manusia yang bermanfaat bagi sesama. Dengan pendidikan yang diterapkannya, tidak heran disaat Isma’il diajak diskusi oleh ayahnya terkait mimpi untuk menyembelihnya, dengan haqqul yakin siap untuk mengikuti aturannya. Hal ini diabadikan dalam surah Ash-Shaffat :102,
لَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Menurut Ibn Asyur dalam kitabnya tahrir wa tanwir (h.149) menjelaskan penafsiran surah Ash-Shaffat :102, pada lafadz قالَ يا بُنَيِّ إنِّي أرى في المَنامِ menyiratkan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Oleh karena itu, mimpi Ibrahim tentang menyembelih anaknya adalah perintah Tuhan, bukan sekadar mimpi biasa. Sedangkan lafadz فَانْظُرْ ماذا تَرى memiliki makna pertimbangkanlah bagaimana pendapatmu. Kata "nadhara" di sini bermakna perenungan atau pemikiran (nadhar aqli), bukan melihat secara kasat mata (nadhar basari). Adapun Jawaban Ismail: يا أبتِ افعل ما تؤمر menyiratkan kepatuhan penuh terhadap perintah Tuhan. Ia tidak berkata “sembelihlah aku” melainkan “lakukan apa yang diperintahkan”, yang menunjukkan ketundukan atas kehendak Allah Swt, bukan karena perintah manusia semata. Adapun Penyebutan انْ شَاءَ اللَّهُ dalam ستجدني إن شاء الله من الصابرين menunjukkan adab dan kesopanan dalam berbicara, dengan mengaitkan kesabaran yang akan dicapai kepada kehendak Allah. Ini semua menunjukkan betapa tinggi derajat keimanan dan kepasrahan baik dari Nabi Ibrahim sebagai ayah maupun Ismail sebagai anak. Penafsiran ini juga menegaskan bahwa penyembelihan bukanlah bentuk tasyri' (pensyariatan umum), melainkan bentuk ibtila' (ujian keimanan).
Penanaman nilai-nilai iman sejak dini menjadikan pola fikir Ismail tentang aturan Allah Swt benar-benar matang dan kokoh. Nabi Ibrahim berhasil mendidik anaknya taat kepada Allah Swt. Tidak hanya sekedar kuat dan hebat di mata manusia. Ia berhasil menanamkan jiwa anaknya agar hidupnya sejalan dengan aturan-aturan-Nya. Nabi Ibrahim mewarisi anaknya bukan berupa harta kekayaan, namun keimanan yang kokoh supaya anaknya bisa mengaktualisasikannya dalam kehidupan, dan mengajarkan kepada orang lain.
Sebagai orang tua seharusnya sadar, pendidikan karakter sejak dini itu penting. Tanamkanlah nilai-nilai keislaman sejak usia tamyiz. Tentu antara teori dan praktik harus seimbang. Orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi anaknya. Jangan hanya sekedar memarahi tanpa memberikan solusi. Anak jangan sepenuhnya selalu disalahkan. Intropeksi diri itu penting. Bisa jadi orangtua kurang memberikan perhatian khusus kepada anaknya. Ingat, anak itu amanah dari Allah Swt, jangan sampai gara-gara nafsu keserakahan dan gengsi orang tua pada akhirnya bisa menghancurkan karir anaknya. Pada akhirnya juga berimbas ke orangtuanya. Allah melihat hamba-Nya bukan dilihat dari gelar atau pangkat duniawi. Namun seberapa totalitas keimanan manusia kepada Allah Swt. Menyeimbangkan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi itu sangat penting. Dunia yang serba “laibun” wa “lahwun”, yaitu fatamurghana, senda gurau, main-main, melalaikan dan bersifat sementara atau tidak ada keabadian di dalamnya. Sehingga perlu ditanamkan kepada anak, bahwa kehidupan duniawi harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk mengumpulkan amal kebaikan sebanyak-banyaknya, sebagai bekal untuk menuju kehidupan ukhrawi. Wallahu a’lam bi shawab.
Komentar
Posting Komentar